Recent Posts

KENAKALAN REMAJA (Juvenile Delinquency)

Unknown | 22:58:00 | 0 komentar



Pengertian Juvenile Delinquency dan Masalahnya

Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
Anak-anak muda delinkuen atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat secara sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat.
Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, artinya : anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja.
Delinquent berasal dari kata Latin “delinquere” yang berarti : terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.
Delinquency itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22 tahun.[1]
Istilah juvenile delinquency dikemukakan oleh para sarjana dalam rumusan yang bervariasi, namun substansinya sama misalnya :
Kartini Kartono mengatakan juvenile delinquency (juvenilis = muda, bersifat kemudaan; delinquency dari delinqucuere = jahat, durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang selalu melakukan kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan perhatian, status sosial dan penghargaan dari lingkungannya.[2]
Peter Salim mengartikan juvenile delinquency adalah kenakalan anak remaja yang melanggar hukum, berperilaku, anti sosial, melawan orang tua, berbuat jahat, sehingga sampai diambil tindakan hukum. Sedang  juvenile delinquency ialah anak remaja yang ditandai dengan juvenile delinquent adalah anak remaja yang ditandai dengan juvenile delinquency.[3]
John M Echols dan Hassan Shadily, menterjemahkan juvenile delinquency sebagai kejahatan / kenakalan anak-anak /anak muda/ muda- mudi.[4]
Dalam ensiklopedi umum, dijelaskan :juvenile delinquency adalah pelanggaran hukum atau moral yang dijalankan oleh individu di bawah umur biasanya pelanggaran ringan (pencurian, penipuan, kerusakan dan sebagainya).[5]
Simanjuntak dengan pendekatan kriminologi, mengartikan juvenile delinquency sebagai perbuatan dari tingkah laku yang merupakan kegiatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan Pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para juvenile delinquency.[6]
Dengan mengkaji rumusan-rumusan di atas maka pada intinya secara sederhana juvenile delinquency dapat diterjemahkan sebagai kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang dimaksud di sini, seperti yang dikatakan  Sarlito Wirawan Sarwono yaitu perilaku yang menyimpang dari atau melanggar hukum.[7]
Masalah delinkuensi anak-anak atau remaja di Indonesia ternyata banyak menarik perhatian beberapa ahli ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan remaja Soerjono Soekanto menguraikan secara singkat sebagai berikut :
Delinkuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah “cross boy” dan cross girl” yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang tergabung dalam satu ikatan /organisasi formil atau semi formil dan yang mempunyai tingkah laku yang kurang /tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Delinkuensi anak-anak di Indonesia meningkat pada tahun-tahun 1956 dan 1958 dan juga pada tahun 1968-1969, hal mana sering disinyalir dalam pernyataan-pernyataan resmi pejabat-pejabat maupun petugas-petugas penegak hukum. Delinkuensi anak-anak tadi meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obat perangsang dan mengendarai mobil (atau kendaraan bermotor lainnya), tanpa mengindahkan norma-norma lalu lintas.[8]

Menurut Soerjono Soekanto[9] acapkali dibedakan antara dua macam persoalan, yaitu antara problem-problem masyarakat (scientific of social problems) dengan problem-problem sosial (amiliorative or social problems). Hal yang pertama menyangkut analisa tentang macam-macam gejala-gejala abnormal dalam masyarakat dengan maksud untuk memperbaikinya atau bahkan untuk menghilangkannya. Ukuran pokok dari suatu problem sosial adalah tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial. Sebagai unsur pertama dan yang terpokok daripada problem sosial adalah adanya perbedaan yang menyolok antara nilai-nilai atau ukuran-ukuran sosial dengan kondisi-kondisi yang nyata dari kehidupan. Maksudnya ialah :munculnya kepincangan dan adanya ketimpangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi (das sollen) dengan apa yang terjadi dalam kenyataan (das Sein), pergaulan masyarakat.
Diteliti dalam kenyataan, banyak sekali cara hidup seseorang atau beberapa orang yang menunjukkan adanya perbedaan dengan nilai-nilai atau ukuran-ukuran sosial, misalnya :cara-cara hidup anak delinkuen. Anak remaja yang menjadi delinkuen karena keadaan keluarga, sekolah bahkan karena lingkungan masyarakat pada umumnya mereka suka melakukan perbuatan yang meresahkan masyarakat dan mengancam ketentramannya. Penganiayaan, pencurian, pemerkosaan, penipuan, pengrusakan dan mabuk-mabukan merupakan perbuatan yang anti sosial, tidak susila dan tidak bermoral. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak delinkuen pada hakikatnya melanggar hak-hak orang lain, baik harta, harga diri maupun jiwa.
Masalah generasi muda, terutama problem sosial yang timbul dari delinkuensi anak-anak pada garis besarnya sebagai akibat dari adanya ciri khas yang berlawanan, yakni : keinginan-keinginan untuk melawan dan adanya sikap apatis. Soerjono Soekanto, mengupas masalah ini lebih tuntas antara lain :[10]
“Sikap melawan tersebut disertai dengan suatu rasa takut bahwa, masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang, sedangkan sikap apatis biasanya disertai dengan rasa kekecewaan terhadap masyarakat. Generasi muda biasanya menghadapi problem-problem sosial dan biologis. Apabila seseorang mencapai usia remaja, secara fisik ia sudah matang, akan tetapi untuk dapat dikatakan dewasa dalam arti sosial, dia masih memerlukan faktor-faktor lainnya”.


[1] Kartini Kartono, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, cet 5, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, tahun 2003, hlm.6.
[2] Kartini Kartono, Patologis Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiawaan, CV. Rajawali, Jakarta, 1986, hlm 209.
[3] Petter Salim, Salim Ninth Collegiate English Indonesian Dictionary, Modern Engglish Press, tt, hlm. 300.
[4] John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia (An Engglish-Indonesian Dictionary), Cet 21, PT Gramedia Jakarta, 1995, hlm.339
[5] Yayasan Dana Buku Franklin, Ensiklopedi Umum. Jakarta, 1991, hlm. 472.
[6] Simanjutak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Transito Bandung, 1977, hlm.292.
[7] Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, cet 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 200
[8] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet 3, UI Press, 1981, hlm.395-396
[9] Soerjono Soekanto, op.cit, hlm:368-369.
[10] Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 385-386

Category: , ,

About GalleryBloggerTemplates.com:
GalleryBloggerTemplates.com is Free Blogger Templates Gallery. We provide Blogger templates for free. You can find about tutorials, blogger hacks, SEO optimization, tips and tricks here!

0 komentar

Recent Comments

HAD'S FRIENDS bagi ngilmu lan kaweruh bagi ngilmu lan kaweruh bagi ngilmu lan kaweruh