KENAKALAN REMAJA (Juvenile Delinquency)
Pengertian Juvenile Delinquency dan Masalahnya
Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila),
atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis)
secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk
pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang
menyimpang.
Anak-anak muda delinkuen atau jahat itu disebut
pula sebagai anak cacat secara sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan
oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat.
Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis,
artinya : anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, ciri karakteristik
pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja.
Delinquent berasal dari kata Latin “delinquere”
yang berarti : terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi
jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror,
tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain.
Delinquency itu selalu mempunyai konotasi
serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak
muda di bawah usia 22 tahun.[1]
Istilah juvenile delinquency dikemukakan oleh
para sarjana dalam rumusan yang bervariasi, namun substansinya sama misalnya :
Kartini Kartono mengatakan juvenile delinquency
(juvenilis = muda, bersifat kemudaan; delinquency dari delinqucuere =
jahat, durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang selalu melakukan
kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan perhatian, status sosial dan penghargaan
dari lingkungannya.[2]
Peter Salim mengartikan juvenile delinquency adalah
kenakalan anak remaja yang melanggar hukum, berperilaku, anti sosial, melawan
orang tua, berbuat jahat, sehingga sampai diambil tindakan hukum. Sedang juvenile delinquency ialah anak remaja
yang ditandai dengan juvenile delinquent adalah anak remaja yang
ditandai dengan juvenile delinquency.[3]
John M Echols dan Hassan Shadily, menterjemahkan juvenile
delinquency sebagai kejahatan / kenakalan anak-anak /anak muda/ muda- mudi.[4]
Dalam ensiklopedi umum, dijelaskan :juvenile
delinquency adalah pelanggaran hukum atau moral yang dijalankan oleh
individu di bawah umur biasanya pelanggaran ringan (pencurian, penipuan,
kerusakan dan sebagainya).[5]
Simanjuntak dengan pendekatan kriminologi, mengartikan
juvenile delinquency sebagai perbuatan dari tingkah laku yang merupakan
kegiatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan Pelanggaran terhadap
kesusilaan yang dilakukan oleh para juvenile delinquency.[6]
Dengan mengkaji rumusan-rumusan di atas maka pada
intinya secara sederhana juvenile delinquency dapat diterjemahkan
sebagai kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang dimaksud di sini, seperti yang
dikatakan Sarlito Wirawan Sarwono yaitu
perilaku yang menyimpang dari atau melanggar hukum.[7]
Masalah delinkuensi anak-anak atau remaja di Indonesia
ternyata banyak menarik perhatian beberapa ahli ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan kehidupan remaja Soerjono Soekanto menguraikan secara singkat sebagai
berikut :
Delinkuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah “cross
boy” dan cross girl” yang merupakan sebutan bagi anak-anak muda yang
tergabung dalam satu ikatan /organisasi formil atau semi formil dan yang
mempunyai tingkah laku yang kurang /tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya.
Delinkuensi anak-anak di Indonesia meningkat pada tahun-tahun 1956 dan 1958 dan
juga pada tahun 1968-1969, hal mana sering disinyalir dalam pernyataan-pernyataan
resmi pejabat-pejabat maupun petugas-petugas penegak hukum. Delinkuensi
anak-anak tadi meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan,
pelanggaran susila, penggunaan obat-obat perangsang dan mengendarai mobil (atau
kendaraan bermotor lainnya), tanpa mengindahkan norma-norma lalu lintas.[8]
Menurut Soerjono Soekanto[9]
acapkali dibedakan antara dua macam persoalan, yaitu antara problem-problem
masyarakat (scientific of social problems) dengan problem-problem sosial
(amiliorative or social problems). Hal yang pertama menyangkut analisa
tentang macam-macam gejala-gejala abnormal dalam masyarakat dengan maksud untuk
memperbaikinya atau bahkan untuk menghilangkannya. Ukuran pokok dari suatu
problem sosial adalah tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan
nilai-nilai sosial dengan kenyataan-kenyataan serta tindakan-tindakan sosial.
Sebagai unsur pertama dan yang terpokok daripada problem sosial adalah adanya
perbedaan yang menyolok antara nilai-nilai atau ukuran-ukuran sosial dengan
kondisi-kondisi yang nyata dari kehidupan. Maksudnya ialah :munculnya
kepincangan dan adanya ketimpangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang
apa yang seharusnya terjadi (das sollen) dengan apa yang terjadi dalam
kenyataan (das Sein), pergaulan masyarakat.
Diteliti dalam kenyataan, banyak sekali cara hidup
seseorang atau beberapa orang yang menunjukkan adanya perbedaan dengan
nilai-nilai atau ukuran-ukuran sosial, misalnya :cara-cara hidup anak
delinkuen. Anak remaja yang menjadi delinkuen karena keadaan keluarga, sekolah
bahkan karena lingkungan masyarakat pada umumnya mereka suka melakukan
perbuatan yang meresahkan masyarakat dan mengancam ketentramannya.
Penganiayaan, pencurian, pemerkosaan, penipuan, pengrusakan dan mabuk-mabukan
merupakan perbuatan yang anti sosial, tidak susila dan tidak bermoral.
Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak delinkuen pada hakikatnya
melanggar hak-hak orang lain, baik harta, harga diri maupun jiwa.
Masalah generasi muda, terutama problem sosial yang
timbul dari delinkuensi anak-anak pada garis besarnya sebagai akibat dari
adanya ciri khas yang berlawanan, yakni : keinginan-keinginan untuk melawan dan
adanya sikap apatis. Soerjono Soekanto, mengupas masalah ini lebih tuntas
antara lain :[10]
“Sikap
melawan tersebut disertai dengan suatu rasa takut bahwa, masyarakat akan hancur
karena perbuatan-perbuatan menyimpang, sedangkan sikap apatis biasanya disertai
dengan rasa kekecewaan terhadap masyarakat. Generasi muda biasanya menghadapi
problem-problem sosial dan biologis. Apabila seseorang mencapai usia remaja,
secara fisik ia sudah matang, akan tetapi untuk dapat dikatakan dewasa dalam
arti sosial, dia masih memerlukan faktor-faktor lainnya”.
[1]
Kartini Kartono, Patologi Sosial II Kenakalan Remaja, cet 5, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, tahun 2003, hlm.6.
[2]
Kartini Kartono, Patologis Sosial 3 Gangguan-gangguan Kejiawaan, CV.
Rajawali, Jakarta, 1986, hlm 209.
[3]
Petter Salim, Salim Ninth Collegiate English Indonesian Dictionary,
Modern Engglish Press, tt, hlm. 300.
[4]
John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia (An Engglish-Indonesian Dictionary),
Cet 21, PT Gramedia Jakarta, 1995, hlm.339
[5]
Yayasan Dana Buku Franklin, Ensiklopedi Umum. Jakarta, 1991, hlm. 472.
[6]
Simanjutak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial, Transito Bandung,
1977, hlm.292.
[7]
Sarlito Wirawan Sarwono, Psikologi Remaja, cet 3, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1994, hlm. 200
[8]
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet 3, UI Press, 1981,
hlm.395-396
[9]
Soerjono Soekanto, op.cit, hlm:368-369.
[10]
Soerjono Soekanto, op.cit, hlm. 385-386
Category: makalah PAI, mata kuliah, umum
0 komentar