PERAN ORANG TUA MENGATASI KENAKALAN REMAJA
Hubungan orang tua dan anak dapat juga dilihat dari
status sosial orang tuanya. Dalam karyanya yang berjudul “Social Class and
Parent Child Relationship” (kelas Sosial dan Hubungan Orang Tua Anak)
dikemukakan oleh Melvin Kohn bahwa orang tua pada lapisan pekerja dan lapisan
menengah mempunyai keinginan berbeda mengenai sifat-sifat yang ingin mereka
lihat pada anak mereka. Para orang tua lapisan pekerja, ditekankan pentingnya
anak menjadi seorang penurut, perwujudan kerapian bagi orang lain, dan
pentingnya keteraturan diwujudkan. Sementara itu, orang tua dari lapisan
menengah lebih menekankan pentingnya mengembangkan sifat-sifat ingin tahu,
kepuasan atau kebahagiaan pada anak, perhatian pada orang lain, dan hal-hal
yang ada di sekitarnya.
Anggapan orang tua terhadap anak yang berbeda-beda
inilah yang kemudian mewarnai hubungan
antara orang tua dan anak. Dalam kedua lapisan di atas, terdapat perbedaan
sikap orang tua dalam memberikan sanksi dalam mendidik anak. Bila anak
bersalah, orang tua pekerja lebih banyak menggunakan sanksi fisik dibanding
dengan orang tua lapisan menengah yang lebih mengadakan imbauan terhadap
penalaran anak.[1]
Orang tua pekerja yang memberikan sanksi yang
berorientasi pada ketaatan disebut dengan sanksi represif, dan orang tua
lapisan menengah yang berorientasi pada adanya imbauan disebut dengan sanksi
partisipasi. Sanksi yang represif menekankan pada hubungan terhadap perilaku yang salah, sedangkan
sanksi yang partisipasi memberikan imbalan terhadap perilaku baik.
Hubungan yang dibina antara orang tua dan anak kelas
pekerja, yang menggunakan cara memberi sanksi yang represif, dilakukan dengan
cara perintah dan melalui isyarat tertentu yang sifatnya nonverbal
communication. Adapun bagi orang tua kelas menengah, hubungan antara anak
dibangun dengan komunikasi dua arah yang sifatnya verbal.
Komunikasi bagi orang tua kelas pekerja menuntut anak
untuk memperhatikan keinginan orang tuanya, sedangkan bagi orang tua kelas
menengah, komunikasi antara anak dan orang tua dilakukan dengan cara
memperhatikan keinginan anak.[2]
Sementara itu status pendidikan orang tuapun sangat
mempengaruhi hubungan orang tua dan anak. Orang tua yang berpendidikan rendah
cenderung lebih tegas dalam memisahkan hubungan dan peranan anak laki-laki dan
perempuan. Sebaliknya mereka yang berpendidikan lebih tinggi memperlakukan anak
perempuan dan anak laki-laki secara egaliter.
Dengan demikian, hubungan orang tua dan anak ditentukan cara orang tua memosisikan anaknya
dan kedudukan (status) orang tuanya di tengah-tengah masyarakat.
Fenomena hubungan yang tidak harmonis antara orang tua
dan remaja telah lama menjadi kekhawatiran masyarakat diberbagai belahan dunia.
Ada suatu asumsi yang masih perlu diuji keabsahannya bahwa orang tua dan para
remaja berada dalam pertentangan yang lebih sering terjadi pada bangsa-bangsa
moderen dibandingkan dengan kurun waktu yang lalu. Padahal para remaja para
remaja memiliki persamaan dengan orang tua dalam politik, moral, selera makanan
dan pakaian. Namun entah mengapa dalam hubungannya dengan orang tua,
pertentangan lebih dominan mewarnai hubungan mereka.[3]
Banyak perspektif yang berusaha menjelaskan terjadinya
ketegangan antara orang tua dan remaja. Mulai dari analisis menurunnya dominasi
orang tua dan hilangnya wibawa institusi pendidikan beserta gurunya.
Pada bagian ini, ketegangan orang tua dan remaja
didasarkan atas pemikiran pendekatan konflik dari Kingsley Davis, yang dilatar-
belakangi oleh adanya perbedaan di antara dua generasi tersebut.
Remaja adalah generasi yang berumur 15 tahun sampai 20
tahun. Apabila mereka bersekolah,
batasannya adalah mereka yang belajar di SLTP, SLTA, dan tahun-tahun
awal memasuki perguruan tinggi.[4]
Perbedaan dan pertentangan antara remaja dan orang tua
secara universal disebabkan adanya perubahan sosial yang cepat. Melalui
perubahan itu, terciptalah konflik tersebut karena adanya alasan perbedaan yang
sifatnya instrinsik dan perbedaan yang sifatnya ekstrinsik.
Orang tua dan remaja berada dalam situasi yang
berbeda. Mungkin saja orang tua berada dalam situasi E, sedangkan remaja berada
pada situasi Bahwa, atau bisa juga perbedaan itu terjadi karena pada masa orang
tua yang berada pada situasi Bahwa, tidak sama dengan remaja pada situasi
sekarang.
Masalah-masalah yang menyebabkan terjadinya konflik
antara remaja dan orang tua, muncul karena pengaruh dari teman bermain. Pada
masa ini teman sebaya memiliki peranan yang sangat dalam mempengaruhi pola
perilaku seseorang. Pada saat ini, ketergantungan remaja dan orang tua
berkurang, terutama ketergantungan secara fisiologis (fisik). Ketergantungan
mereka beralih kepada teman sebaya. Hal ini disebabkan mereka sedang memulai
citra dirinya yang sesuai dengan dunia dewasa. Mereka membutuhkan penerimaan
dari dunia luarnya, dalam hal ini adalah lingkungan di luar keluarganya.
Pada saat lain, orang tua tidak begitu saja menerima
perubahan orientasi remaja. Mereka masih merasa memiliki otoritas dalam
mengatur anak-anaknya. Apalagi bila peran dan pendekatan orang tua terhadap
remaja menggunakan pola pendekatan “asal sesuai dengan keinginan bapak.” Tentu
saja remaja akan menganggap bahwa orang tua bukan lagi satu-satunya teman yang
bisa diajak berbicara.
Selain itu, konflik remaja dan orang tua juga terlihat
dalam masalah hubungan antarlawan jenis. Untuk memulai pengembaraan aspek
biologisnya, remaja mulai mempunyai teman lawan jenis (pacar). Hubungan dengan
pacarnya terkadang sampai pada batas hubungan pranikah. Sulit dibayangkan bila
hubungan antarlawan janis hanya terbatas pada hubungan perkenalan.[5]
Bagi sebagian remaja, pacaran mungkin merupakan sikap yang kurang religius,
kurang konformis, kurang dewasa, impulsif, manipulatif, dan cinta monyet.
Masalah hubungan remaja dengan lawan jenis telah
diteliti oleh Sri Herlyanti dalam skripsi yang berjudul,”Pandangan Orang Tua
dan Remaja mengenai Pemilihan Sekolah dan Kegiatan Belajar Sekolah, Aktivitas
dan Pergaulan”. Berdasarkan penelitiannya, tingkat variasi yang signifikan
antara pacaran pada masa SLTA sebanyak 62 % responden (para ibu) tidak
menyetujui anaknya berpacaran pada tingkat SLTA, sedangkan 96 % siswa SLTA
setuju bila mereka memulainya pada masa SLTA.[6]
Selain itu, faktor penting lainnya yang mempengaruhi
hubungan antara remaja dan orang tua ialah perbedaan fisiologis, psikososial
dan otoritas orang tua dan anak.[7]
Dengan demikian, terjadinya konflik antara orang tua
dan remaja disebabkan perbedaan cara pandang orang tua di satu sisi dan
perbedaan visi lainnya pada remaja.
[1]
Melvin L. Kohn, Social Class and Parent Child Relationship” dalam Stein,
Peter J. dkk The Family Function
Conflicts and Symbols, Reading Mass, 1977.
[2]
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi , Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
UI, Jakarta 1993,hlm 181-183
[3]
Pernyatan ini didasarkan pada tulisan Kingsley Davis, The Sociology of
Parent Youth Conflik sebagaimana dikutip oleh William J. Goode dalam, The
Family, Terj Laila Hanoum, Bumi aksara, 1995 hlm.160.
[4]
Toenggoel P. Siagian, “Pendekatan Pokok dalam Mempertimbangkan Remaja Masa
Kini” dalam Prisma, Nomor 9 Tahun XIV 1985.
[5]
Sebagian masyarakat dunia, memperbolehkan anak muda untuk mencari pengalaman hubungan seksual sebelum menikah.
Mereka tidak lagi memperdulikan keperawanan, bahkan menganggap hal itu sebagai
sesuatu yang menggelikan. Tujuan utamanya ialah menentukan kesuburan seorang
gadis. Apabila ia mengandung, berarti ia siap menikah. Kegiatan seperti itu,
membuatnya aman dan tidak membahayakan. Hurton and Hurt, Sosiologi,
terj. Aminuddin Ram dan Tita Sobari,
Erlangga, 1996, hlm. 274-275.
[6]
Sri Herlyanti, Pandangan Orang Tua dan Remaja Mengenai Pemilihan Sekolah dan
Kegiatan Belajar Sekolah, Aktivitas dan Pergaulan. Skripsi FISIP UI,
Jakarta, 1989.
[7]
Orang tua dan remaja dalam keluarga
memiliki perbedaan mendasar. Perbedaan itu kemudian memicu konflik
karena adanya perbedaan wewenang dan kekuasaan antara remaja dan orang tua.
Orang tua memiliki otoritas yang luas, sedangkan remaja, dalam batas-batas
tertentu masih bergantung pada orang tua sehingga otoritasnya terbatas.
Category: makalah PAI, mata kuliah, umum
0 komentar