problematika pendidikan agama
Pendidikan
adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan, bimbingan,
pengajaran dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Dalam
Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan
nasional, menyebutkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dari generasi tua
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki generasi muda yang mencakup
pengetahuan, pengalaman, kecakapan serta ketrampilan untuk mempersiapkan mereka
agar dapat menjalani fungsi hidupnya serta mampu bertanggung jawab atas segala
perbuatannya. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan sumber daya manusia yang
berkualitas yang memiliki kemampuan intelektual tinggi serta mempunyai
kepribadian yang baik.[1]
Pendidikan
Agama Islam merupakan mata pelajaran yang wajib diajarkan setiap jenjang
pendidikan, yaitu mulai pendidikan dasar sampai keperguruan tinggi, hal ini
sesuai dengan UU RI No. 2 Tahun 1989 pada
bab IX pasal 39 ayat 2 yaitu isi kurikulum setiap jenis jalur dan
jenjang pendidikan wajib memuat :
- Pendidikan Pancasila.
- Pendidikan agama.
3.
Pendidikan kewarganegaraan.[2]
Pendidikan agama mengemban amanat sekaligus, yaitu
bidang agama dan bidang pendidikan, di bidang pendidikan, pendidikan agama di
sekolah merupakan bagian integral dari program pendidikan dan pengajaran pada
setiap jenjang dan jenis pendidikan untuk mencapai tujuan nasional.
Hal
ini sesuai dengan ungkapan M. Arifin yang menyatakan pendidikan adalah sebagai
suatu bidang studi yang tidak dapat dipisahkan dari bidang studi lainnya,
karena bidang studi tersebut secara keseluruhan berfungsi menyempurnakan atau
menunjang tercapainya tujuan umum pendidikan nasional.[3]
Pada
SLTA, mata pelajaran Pendidikan Agama Islam diberikan 2 jam pelajaran tiap
minggunya, sedangkan jumlah jam pelajaran yang ada di SLTA adalah 42 jam
pelajaran tiap minggunya, ini berarti bahwa Pendidikan Agama Islam hanya
memperoleh alokasi waktu yang disediakan untuk kegiatan belajar mengajar.
Alokasi
waktu yang demikian sedikit tidak akan mampu untuk mencapai tujuan umum PAI
yang telah digariskan pada Garis Besar Pedoman Pembelajaran (GBPP). Jika guru
mata pelajaran tidak bekerja keras dan tidak melakukan kiat-kiat khusus untuk
memperkaya dan memperdalam materi yang disediakan, hal tersebut dibentuk oleh
banyaknya arus informasi baik lewat media cetak maupun elektronik yang
menyuguhkan tayangan yang bertentangan dengan moral agama.
Pendidikan
agama diharapkan menjadi dasar pendidikan umum, ternyata dikesampingkan dengan
lebih mementingkan pendidikan umum. Tantangan inilah yang mendorong untuk
diadakan pembenahan sistem pengajaran dan pembaharuan kurikulum pendidikan
Islam pada pendidikan sekolah.
Tujuan ini berkaitan dengan komponen-komponen
lainnya dalam kurikulum yaitu: materi, metode dan evaluasi. Namun demikian
keberhasilan PAI di sekolah sangat tergantung pada para pelakunya, terutama
guru dan siswanya. Proses Pendidikan Agama Islam jalur sekolah berkaitan erat
dengan komponen-komponen di atas, secara formal, semua komponen itu telah dilaksanakan
sesuai dengan tuntutan kurikulum dan telah banyak mendapat perhatian dari
kalangan para pendidik dan para pakar pendidikan, misalnya dengan penataran
metode mengajar, penggunaan media mengajar, lembar kerja siswa dan lainnya.
Namun demikian faktor-faktor yang berkaitan dengan pelakunya (SDM), seperti
faktor psikologis, sosiologis dan ekonomi siswa, khususnya kurang mendapat
perhatian dalam meningkatkan kualitas Pendidikan Agama Islam.
Sementara itu bermunculan isu-isu tentang kegagalan
implementasi kurikulum PAI secara umum, yang hanya didasarkan kepada kenyataan
tentang perilaku siswa yang menyimpang tanpa diketahui faktor penyebab yang
sebenarnya yang didasarkan pada hasil temuan ilmiah.
Isu lain menyatakan bahwa Pendidikan Agama Islam
masih banyak yang belum terpecahkan, diantaranya Pendidikan Agama Islam di
sekolah itu belum mencerminkan tingkat mendidik dan menghayati ajaran agama.
Pada agama belum mampu mencetak manusia muslim yang terpantul pada cara
berpikir, bersikap dan tingkah laku anak didik.[4] Di
samping itu Pendidikan Agama Islam masih lemah sistem dan metodenya, untuk itu
perlu ditata terus-menerus agar pendidikan tersebut bisa mewujudkan anak didik
yang agamis. Dalam prosesnya dimana guru dalam memberikan materi, anak didik
banyak yang tidak memperhatikan bahkan bergurau sendiri, hal ini dimungkinkan
karena metode yang digunakan guru kurang pas dengan kebutuhan dan minat anak
didik.[5]
Dari sinilah maka implementasi atau proses
pengajaran PAI di sekolah mengimplikasikan bahwa (1) agama yang dipahami anak
sebagai pengetahuan kognitif belaka, sedangkan aspek afektif dan
psikomotoriknya belum tersentuh, (2) adanya dikotomi pemikiran antara ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum, sehingga komitmen terhadap agama lemah, (3)
pendidikan agama hanya mengandung pesan-pesan moral tidak jauh bedanya dengan
pendidikan Pancasila dan pendidikan umum lainnya, karena kurikulum yang
ditentukan tidak dipahami oleh peserta didik.
[1]Muhammad Abdur Qodir Ahmad, Proyek Pembinaan
Prasarana, IAIN, Jakarta, th. 1996, hlm. 99.
[2]Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989, Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, PT. Mediawiyata, Semarang, 1990, hlm. 15.
[3]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Agama Islam, Bumi
Aksara, Jakarta, 1981, hlm. 71.
[4]Langgulung Hasan, Pendidikan Islam Menghadapi Abad
21, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1988, hlm. 98.
[5]Soelaiman, MI., Suatu Upaya Pendekatan Terhadap
Situasi Kehidupan dan Pendidikan dalam Keluarga dan Sekolah, Disertasi,
IKIP, Bandung, hlm. 214.
Category: umum
0 komentar