fikih dan problematikanya
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fikih
adalah pengetahuan tentang hukum syari’at yang digali dari al-Qur’an dan
al-Hadits tidak hanya berkisar dalam masalah ubudiyah saja, melainkan juga berbagai
aspek kehidupan manusia.
Al-Qur’an
sebagai poros utama sumber hukum Islam merupakan kitab suci yang didalamnya
termuat dua bentuk tatanan hubungan universal, vertikal (hubungan manusia
dengan Allah) dan horizontal (hubungan manusia dengan manusia dan alam
semesta). Lebih dari 80 persen kandungan al-Qur’an secara teoritis membahas
tentang permasalahan sosial yang mencakup perdata (hukum kekeluargaan),
mu’amalah (berbagai transaksi dalam masyarakat), pidana (hukuman) dan berbagai
tata aturan hubungan manusia dengan alam sekitar. Selebihnya al-Qur’an membahas
yang berkenaan dengan akhirat, yaitu kepatuhan penuh (‘ubudiyah).
Masalah
fiqih adalah masalah yang dinamis dan unik untuk dikaji. Karena hukum fiqih
selalu berkembang sesuai dengan keadaan zaman, fiqih selalu tampil memberikan
jawaban atas problematika kehidupan manusia yang sangat komplek, sering terjadi
perbedaan pendapat antara para ulama ahli fiqih dalam berbagai problem, hal ini
disebabkan oleh cara pandang mereka yang berbeda-beda. Oleh karena itu penting
rasanya bagi pelajar untuk mempelajari dan memahami perbandingan Madzhab secara
benar agar mereka mempunyai pandangan yang luas tentang fiqih dan dapat
mengaplikasiknnya sesuai dengan kondisi yang ada sehingga mereka dapat bersikap
dengan bijaksana pada masyarakatnya tanpa terjadi kesalahpahaman yang memicu
perpecahan dalam islam, Karena islam itu sendiri adalah rahmatan lil alamin.
Dalam
makalah ini kami yakin masih banyak terdapat kekurangan, hal ini tak lain
karena keterbatasan kami dalam mengkaji dan menelaah ilmu- ilmu yang
berhubungan dengan fiqih secara muqaranah sehingga kami selaku penulis selalu
mengharap saran dan kritik dari berbagai pihak, sehingga kami dapat
memperbaikinya dikemudian hari.
B.
Tujuan
1)
Mengetahui
pengertian, arti, dan esensi yang terkandung dalam fiqih secara global
2)
Menjelaskan
tentang muqaranah mazdahib
3)
Memberikan
pengetahuan tentang fiqih klasik dan fikih kontemporer
4)
Memberikan
wawasan tentang golongan-golongan fikih pada zaman sekarang
BAB II
PEMBAHASAN
A. FIQIH SECARA MUQARANAH
a)
Pengertian Muqaranah Madzahib
Secara etimologi muqaranah dalam
kamus al-Munjid berasal dari kata kerja qarana, yang artinya membandingkan dan
arti muqaranah itu sendiri, kata yang menunjukkan keadaan atau hal yang berarti
membandingkan atau perbandingan. Membandingkan di sini adalah membandingkan
antara dua perkara atau lebih, seperti misalnya:
قارن بين الشيئين
Ia telah membandingkan dua perkara
Menurut bahasa madzhab berarti
jalan atau tempat yang dilalui. Kata madzhab berasal dari kata dzahaba –
yadzhabu – dzahaban – dzuhuban – madzhaban. Madzhab juga berarti pendirian.
Menurut istilah para faqih madzhab mempunyai dua pengertian, yaitu :
1.
Pendapat salah seorang imam mujtahid tentang hukum
suatu masalah
2.
Kaedah – kaedah istinbat yang dirumuskan oleh seorang
mujtahid.
Dari kedua pengertian diatas dapat
disimpulkan, bahwa pengertian madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam
(mujtahid mutlak mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaedah
kaedah istinbatnya. Maka yang dimaksud dengan muqaranah madzahib dalam disiplin
ilmu adalah ilmu yang mempelajari tentang perbandingan hukum dari berbagai
madzhab, baik dari segi persamaan maupun perbedaannya kemudian mengambil mana
yang tepat untuk dijadikan landasan hukum.
Dengan kata lain muqarah madzahib
merupakan bidang yang mengkaji dan membahas tentang hukum yang terdapat dalam
berbagai madzhab dengan cara membandingkan satu sama lainnya agar dapat melihat
tingkat kehujjahan yang dimiliki oleh masing-masing madzhab tersebut serta mencari
segi- segi persamaan dan perbedaannya.
Dikalangan umat islam ada empat
madzhab yang paling terkenal yaitu madzhab hanafi (80 – 150H), madzhab maliki
(93 – 179 H), madzhab syafi’I (150 – 204H), dan madzhab hanbali (164 – 241H).
Selain empat madzhab tersebut, masih banyak madzhab lain seperti : hasan
bashri, ats-tsauri, daud adz-zhahiri, al-auza’I, syi’ah imamiyah dan syiah
zaidiyah.
Kalau kita perhatikan dalam
menetapkan suatu hukum, adakalanya terdapat perbedaan pendapat diantara imam
madzhab itu, walaupun sama meruju’ pada al-Qur’an dan sunnah rasulullah,
disamping sumber hukum lainnya, baik yang muttafaq alaihi maupun yang mukhtalaf
fihi jalan pikiran imam mujtahid inilah yang perlu kita lihat dan telaah dan
kemudian menbanding – bandingkannya. Terus lebih baik lagi, apabila kita
mengetahui latar belakang ataupun dasar seorang mujtahid menetapkan suatu
hukum. Mungkin karena dipengaruhi oleh lingkungan atau masa, disamping sumber
hukum yang dipergunakan. Sebagai contoh, mengapa ada qaul qadim dan qaul jadid
dalam madzhab syafi’I, sewaktu beliau di bagdad berbeda jalan pikirannya dengan
di mesir. Perubahan penetapan hukum yang dilakukan oleh imam syafi’I disebabkan
oleh dua hal yaitu:
Imam syafi’I menemukan dan
berpendapat, bahwa ada dalil yang dipandang lebih kuat sewaktu beliau sudah
bermukim dimesir, atau dengan kata lain, beliau meralat pendapat lama (qadim).
Beliau mempertimbangkan keadaan
setempat, situasi dan kondisi. Factor yang kedua inilah barang kali
jangkauannya lebih luas, namun tetap terbatas, karena walaupun bagaiman beliau
tetap lebih berhati-hati dalam menetapkan suatu hukum. Kita ketahui, beliau
menyatakan ketidak setujuannya suatu hukum ditetapakan berdasarkan istihsan
(imam hanafi).
Ada suatu hal yang patut kita
renungkan mengenai sikap imam syafi’I ketika beliau pergi kebaghdad setelah
bermukim dimesir, beliau mendapat sambutan yang hangat dari
pengikut-pengikutnya yang ketika itu diminta untuk menjadi ima shalat subuh.
Pada saat itu beliau tidak membaca qunut. Ketika pengikut beliau
mempertanyakan, (imam syafi’I biasanya membaca qunut dan hukumnya sunah),
baliau lalu menjawab : taaduban (demi sopan santun), karena ma’mum dibagdad
pada umumnya tidak membaca qunut pada shalat subuh (hanafiyah).disini kita
lihat, seorang mujtahid mengenyampingkan pendapatnya untuk menjaga perasaan
orang banyak. Tetapi hendaknya diingat, bahwa sikap yang demikian dapat ditiru
dan diteladani dalam masalah furu’, bukan masalah pokok.
Kemudian kita lihat lagi contoh
lain, mengenai ibadah haji menurut syafi’I wudhu menjadi batal, bila
bersentuhan laki-laki dan wanita, sedangkan menurut hanafi tidak batal. Dalam
menjalankan tawaf hal-hal semacam ini sukar dihindari karena orang
berdesak-desakkan. Apakah tidak sebaiknya dalam persoalan seperti ini kita mengikuti
pendapat hanafi? Imam syafi’I pun se benarnya membolehkan dalam keadaan
darurat. Hasilnya tetap sama- sama boleh tetapi alasannya yang berbeda. Imam
hanafi berpendapat bahwa, pada dasarnya memang boleh bersentuha kulit laki-
laki dengan wanita, bkan karena alasa darurat. Sedangkan Imam Syafi’i pun
menganggap boleh, karena alasan darurat. Akhirnya pengikut Syafi’I (Syafi’iyyah
), tetap fanatik kepada pendapat imamnya, tidak mau melihat pendapat mujtahid
lain.
Pada masa Rasulullah dan shahabat,
kita dapat melihat contoh seperti masalah talak tiga. Pada masa rasululloh,
sekiranya ada orang yang menjatuhkan talak tiga sekaligus,dihitung jatuh talak
satu dan boleh rujuk lagi. Pada saat mengucapkan talak itu mungkin kemarahan
suami terlalu memuncak,tanpa memikirkan akibatnya, yaitu tidak boleh rujuk
lagi. Kemudian pada masa kholifah umar ibn khatab, orang yang menjatuhkan talak
tiga sekaligus, maka jatuh talak tiga (talak bain), dan tidak boleh rujuk lagi.
Mengapa berbeda sekali ketentuan hukumnya? Pada masa umar orang terlalu mudah
dan menganggap enteng, sehingga seenaknya saja orang mengucapkan kata talak.
Dengan sikap umar yang tegas ini, orang lebih berhati-hati dan tidak
mempermainkan talak.
Demikianlah diantara contoh yang
dikemukakan di sini dan selanjutnya dapat di telaah pendapat dari masing-masing
madzhab danb kitapun bebas memilih pendapat yang menurut kita lebih mantap
untuk di amalkan, dengan suatu catatan,jangan hendaknya memilih yang
mudah-mudah saja.
Memang untuk membanding-banding
dan menentukan pilihan secara tepat, tidak begitu mudah karna harus ada
perbendaharaan ilmu dan kemampuan untuk menilai. Oleh sebab itu bagi orang awam
yang sudah menetapkan oilihanya berdasarkan petunjuk seorang ulkama atau
gurunya, jangan hendaknya di usik (diganggu) yang mengakibatkan dia beribadat
tidak tenang dan malahan akan bertambah bingung.
Dalam masyarakat ada saja
kemungkinan seorang da’I atau ustadz yang menyampaikan ajaran agama menurut
pahamnya (aliran yang dianutnya) dan menyalahkan paham atau aliran orang lain,
terutama masalah furu’ (cabang), bukan pokok.
b) Tujuan dan
faedah mempelajari muqaranah mazdahib
Barang kali sebagian orang akan
beranggapan bahwa mempelajari berbagai mazdhab dan perbedaan pendapat yang ada
antara dan bahkan intern mazdhab itu sendiri, tidak ada gunanya –di samping
akan mempengaruhi pendirian dan boleh jadi orang yang mempelajari berbagai
madzhab tersebut kemudian membandingkan dalil-dalil dalam menetapkan hukum akan
berpindah mazdhab.
Menurut keterangan syaikh Muhammad
syaltaut dan Muhammad ali as-Sayis, bahwa ada sebagian ulama mengatakan barang
siapa yang telah mengikuti suatu mazdhab ia tidak boleh pindh ke mazdhab yang
lain. Bahkan, orang yang pindah mazdhab itu dapat dikenakan hukum ta’zir. Tentu
saja pandangan seperti itu merupakan pandangan picik dan tidak dewasa. Padahal
melakukan perbandingan antar dan intern mazdhab, merupakan hal yang sangat
penting dan banyak faedahnya.setidak-tidaknya tujuan dan faedah mempelajari
muqaranah mazdhab dapat dikemukakan sebagai berikut:
1)
Untuk menghilangkan kepicikan pandangan dalam
mengamalkan hukum islam .
Dalam kenyataanya, lahirnya
sejumlah mazdhab hukum dengan berbagai corak dan perbedaan cara dalam melakukan
istimbat hukum, merupakn hal yang tidak bias diingkari. Karna terjadinya
perbedaan dalam berbagai produk hukum adalah berakar dari perbedaan cara atau
metode yang di tempuh oleh para tokoh mazdhab dalam melajukan istimbat. Dengan
beragamnya teori atau prosedur yang ditempuh dalam istinbat hukum, maka kita
tidak bias menutupi diri dengan hanya berpegang kepada satu pandangan saja.
Sikap seperti merupakan kepicikan pandangan yang harus dihilangkan, kita harus
membuka diri selebar- lebarnya untuk menelaah dan mengatahui dari berbagai
teori atau metode dikalangan madzhab hukum yang ada, dengan maksud agar dapat
mengetahui kwluasan istinbat hukum dan memilih mana yang paling tepat untuk
diterapkan dalam menetapkan hukum.
2)
Membedah sikap taqlid
Dalam
pengalaman ajaran islam sikap taqlid, ssejauh mungkin harus dihindari, karena
taqlid membawa kepada sikap statis dan jumud. Taqlid seperti dituturkan oleh
Ibnu al- Subki dalam kitab jami’ al- jawami’ ialah mengikuti atau berpegang
pada suatu pendapat tanpa mengetahui dalilnya (akhdzu al- qaul min ghairi
ma’rifat dalilih).
Sementara itu Imam
al-Haramain, sebagai di kutip oleh muahammad Abdul Ghani bahwa taqlid adalah
menerima suatu pendapat tanpa memahami hujjah(huwa qabul qaul bila hujjah).
Para ulama’ memang berbeda pendapat tentang boleh tidaknya bertaqlid kepada
salah satu madzhab. Sebagaimana dikatakan oleh Abdul Karim Zaidan bahwa
sebagian ulama’ tidak membokehkan bertaqlid secara mutkak, dan bahkan
mewajibkan bagi mukallaf untuk melakukan ijtihad. Sementara sebagian ulama’
lain membolehkan bertaqlid, lebih- lebih bagi orang yang tidak mampu melakukan
ijtihad.
Persoalannya adalah bahwa taqlid
pada madzhab dan menjadikan pandangan- pandangan madzhab tesebut melebihi nash
sebagai sumber ajaran isalam, dan tidak mau menerima kebenaran madzhab yang
lain, merupakan sikap yang tidak terpuji. Padahal madzhab- madzhab hukum
merupakan kelompok yang menafsirkan nash dan menggali hukum- hukum dari nash
tersebut.
Oleh karena itu , dengan melakukan
perbandingan tentang dasar- dasar istinbat dari berbagai madzhab hukum, dan
menelaah segi kekuatan dan kelemahan hujjah masing- masing madzhab, niscaya
akan membentuk sikap keterbuakaan dalam melihat berbagai persoalan hukum yang
berbeda, serta membebaskan diri dari fanatik madzhab.
3)
Untuk mencari
kebenaran
Tujuan
muqaranah (membanding ) madzahib bukan mencari kelemahan, tetapi adalah untuk
menemukan kebenaran. Syaiikh Muhammad as- Sayis menyebutkan bahwa muqaranah
bertujuan untuk mengetahi cara atau metode para ulam’ dalam melakukan ijtihad
dan memilih suatu ketentuan hukum yang dapat menentramkan jiwa. Dengan kata
lain , melakukan muqaranah terhadap metode atau cara- cara yang ditempuh oleh
berbagai madzhab dalam istinbat hukum merupakan keharusan dan kebutuhan yang
tidak bias diabaikan. Hal ini,baik secara historis maupun secara sosiologis,
ternyata perbedaan- perbedaan produk hukum, justru dilatarbelakangi oleh
perbedaan atau cara metode yang ditempuh oleh berbagai madzhab dalam melakukan
istinbat hukum. Dengan melakukan perbandingan terhadap berbagai madzhab dan c
ara atau metode yang digunakan dalam istinbat hukum, akanmemberikan kemungkinan
lebih luas untuk menemukan solusi hukum dari persoalan yang dihadapi serta
dapat mesnguji kebenaran landasan teori pemikiran hukum ng dianut kalangan
madzhab yang ada.
B. FIQIH DALAM WACANA KONTEMPORER DAN KLASIK
Dalan dunia pesantren, fiqih
merupakan ilmu yang paling banyak diminati dan paling popular di kalangan
santri khusunya di pulau jawa, demi ilmu tersebut seorang santri rela
menghabiskan waktunya bertahun-tahun untuk mendalami ilmu yang katanya keramat
itu. Dalam masyrakat jawa, yang notabenennya masyarakat yang masih tergolong
trdisional seorang kyai di tuntut mengkaji ilmu tersebut dalam lingkup ilmu
fiqih atas madzhab syafi’i.akan tetapi semakin berkembangnya zaman sang kyai
tidak hanya dituntut untuk mendalami ilmu fiqih klasik saja akan tetapi juga di
tuntut untuk mendalami fiqih yang bersifat kontemporer, karena problematika
yang muncul tidak hanya bersifat ibadah, yang cukup dijawab dengan kitab-kitab
klasik atau yang lebih dikenal denagn sebutan “kitab kuning”,akan tetapi
masalah yang ada banyak yang bersifat modern atau kontemporer.
Oleh
karana itu fiqih merupakan ilmu yang sangat signifikan bagi setiap umat manusia
karena ilmu tersebut mengatur semua perilaku manusia selama24 jam
Semakin majunya perkembangan
teknologi dunia, tak heran kalau fiqih klasik mulai jadi sorotan orang-orang
modernis(liberalis) yang beranggapan bahwa fiqih kalsik sudah tak akurat lagi
pada zaman ini,dan harus direnovasi kembali, Bagi mereka, tidak semua permasalahan
di zaman serba mesin ini mampu dijawab dan direspon oleh kitab yang dikarang
pada ratusan tahun yang silam, ketika zaman masih “sederhana”. Oleh karenanya,
kata kelompok modernis ini, diperlukan kajian atau bahkan ijtihad baru, karena
kitab kuning lahir dan tercipta untuk menjawab permasalahan di masanya.
Di lain pihak,beda halnya dengan
orang-orang sarungan(tridisional) mereka masih setia pada komitmen mereka bahwa
fiqih klasik tetap menjadi materi wajib dalam dunia pesantern, mereka masih meyakini
bahwa fiqih klasik tetap relevan dalam menjawab problematika kontemporer. Bagi
mereka, kitab-kitab kuning merupakan sabda agama yang bisa menyamai keabsahan
Al-qur’an, yang tak perlu digugat atau di ragukan ke absahannya.maka ketika
kitab kuning berbicara,dia seakan-akan menjadi sabda yang harus di ikuti.lain
halnya denagn persepsi orang-orang modernis mereka beranggpan bahwa
akal(rasio)di atas segala-galanya dalam penentuan hukum.menurut mereka setiap
individu bebas menentukan hukum permasalahannya. Kelompok ini juga berpandangan
bahwa ulama-ulama dulu juga manusia biasa yang karangannya masih perlu
dikritisi dan dikaji ulang, sehingga diperlukan ijtihad baru yang lebih toleran
dan bebas.
Lalu dari sini timbul satu
pertanyaan”siapakah diantara mereka yang benar?” Apakah kaum sarungan, yang
menganggap kitab kuning adalah sabda agama yang sakralitasnya nyaris menyamai
al-Qur’an, sehingga tidak perlu digugat dan dipermasalahkan keabsahannya? atau
kalangan islam modernis yang menjadiakn akal untuk menentukan hukum?dan
beranngapan bahwa fiqih kalsik sudah tak akurat lagi pada zaman ini,dan harus
direnovasi kembali denagan ber ijtihad?seberapa pantaskah mereka ber
ijtihad?sudah cukupkah kapasitas keilmuan mereka dalam mengkaji ilmu islam?
Untuk menjawab pertanyaan di atas
penulis mencoba mengutip pandanagn Dr,.yusuf Al-qardawi dalam menganalisa fiqih
klasik dan kontemporer,beliau membagi dalam tiga golongan besar,yaitu
tradisionalis,liberalis,dan mederatis.
Golongan pertama adalah golongan
yang mengedepankan pemahaman literalistik atas teks-teks agama tanpa memandang
perubahan zaman sehingga dalam golongan ini terjadi taqlid buta atas
ulama-ulama terdahulu,tanpa adanya pembaharuan sama sekali.
Dalam pandangan mereka,nash-nash
yang sudah ada tidak boleh lagi digugat atau dikritisi sehingga denagn adanya
keyakinan seperti ini, pola fikir mereka menjadi kaku dan jumud.maka tidak
heran kalau banyak dari golongan ini yang berpikiran ekstim dan
fundamental.akibatnya mereka mengklaim golongan yang selain mereka adalah
kafir.
Golongan yang kedua yaitu golongan
liberalis yang selalu mengedepankan rasio dari pada wahyu tuhan.sehingga
terjadilah pembenturan suatu hukum.karena suatu masalah apabila dihukumi oleh
akal tanpa berpeganag pada nash-nash Al-qur’an dan hadits maka akan terjadi
banyak kontroversi melihat minimnya kemampuan akal dalam menandingi kalam
tuhan.
Golongan ini banyak menyaring
pemikiran dari orang-orang barat.terbukti dengan ide-ide yang sering
diteriakkan atas nama sekularisasi.
Golongan yang ketiga adalah golongan
orang-orang moderat atau kalau tidak berlebihan penulis namakan golongan ini
dengan golongan yang mencoba mengkolaborasi antara teks-teks klasik denagn
denagn teks-teks yang lebih bebas dan terbuka sehingga tidak terjadi lagi
ke-kakuan dan taqlid buta.diantaranya denagn dibukanya forum-forum diskusi atau
seminar-seminar untauk menentukan suatu hukum peemasalahan.
BAB III
PENUTUP
·
Muqaranah mempunyai arti perbandingan madzhab baik
dari segi kesamaan dan perbedaannya
·
Madzhab fikih dalam islam yang disepakati oleh jumhur
uama’ sebagi madzhab yang kuat dan dianut oleh mayoritas umat islam didunia itu
ada empat yaitu:
1)
Madzhab Hanafi
2)
Madzhab Maliki
3)
Madzhab Syafi’i
4)
Madzhab Hanbali
·
Para ulama’ madzhab walaupun mereka saling berbeda
pendapat dalam suatu masalah, mereka selalu mengedepankan sikap toleransi yang
sangat tinggi dan mengutamakan perdamaian.
·
Mempelajari muqaranah madzhab berfaedah:
o Untuk
menghilangkan kepicikan pandangan dalam hukum islam
o Membedah
sikap taqlid
o Untuk
mencari kebenaran.
Category: makalah PAI
0 komentar