kedudukan puasa
BAB I
PENDAHULUAN
(PUASA)
Dari
segi bahasa, puasa adalah menahan (imsak) dan mencegah dari sesuatu. Adapun
menurut syarak, puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang membatlkan dengan
niat yang dilakukan oleh orang bersangkutan pada siang hari, mulai terbit fajar
sampai terbenam matahari. Dengan kata lain, puasa adalah menahan diri dari
perbuatan yang berupa dua macam syahwat (perut dan kemaluan) serta menahan diri
dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya. Hal
itu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar
kedua sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak melakukannya
yaitu orang muslim, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa
harus dilakukan dengan niat, tidak ragu-ragu. Tujuan niat adalah membedakan
antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan.
Puasa
merupakan satu bentuk ketaatan pada Allah SWT. Seorang mukmin dengan puasanya
akan diberikan pahala yang luas dan tidak terbatas. Sebab puasa hanya
diperuntukkan bagi Allah yang kedermawanannya sangat luas. Dengan puasa dia
akan memperoleh ridho Allah SWT. Dan berhak memasuki surga dari pintu khusus
yang hanya disediakan untuk orang-orang yang berpuasa. Puasa juga akan
menjauhkan dirinya dari siksaan yang disebabkan oleh kemaksiatan yang
dilakukannya. Puasa merupakan tebusan atau kafarat bagi dosa dari satu tahun ke
tahun berikutnya. Dengan ketaatan, urusan seorang mukmin akan berdiri tegak di
atas kebenaran yang di syariatkan oleh Allah SWT. Karena puasa bias merealisasikan
ketaqwaan, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhkan diri dari segala
yang dilarangnya.
Puasa
merupakan madrasah moralitas yang besar dan dapat dijadikan sarana latihan
untuk menempa berbagai macam sifat terpuji. Puasa adalah jihat melawan nafsu,
menangkal godaan dan rayuan setan yang terkadang terlintas dalam pikiran. Puasa
bias membiasakan seseorang bersikap sabar terhadap hal-hal yang diharamkan,
penderitaan, dan kesulitan yang kadang kala muncul di hadapannya. Pada saat dia
melihat hidangan makanan lezat di hadapannya, yang aromanya menyeruak sampai ke
perut, atau dia melihat air tawar yang sejuk menari-nari di hadapan matanya,
maka pada saat itu pula dia harus menahan diri dari semuanya dan menunggu
sampai waktu yang diijinkan oleh tuhannya tiba.
Puasa
mendidik seseorang untuk bersikap jujur dan merasa diawasi oleh Allah baik
dalam kesendirian maupun dalam keramaian. Karena pada saat itu, tak seorangpun
yang mengawasi orang yang sedang berpuasa selain Allah.
Puasa
dapat menguatkan kemauan, mempertajam kehendak, mendidik kesabaran, membantu
kejernihan akal, menyelamatkan pikiran, dan mengilhami ide-ide yang cemerlang.
Hal itu bias terjadi ketika orang yang berpuasa melewati fase kelapangan hidup
serta melupakan kesenangan dan kenikmatan hidup yang kadang-kadang terlintas
dengan tiba-tiba. Luqmanul Hakim berkata pada anaknya, “wahai anakku jika perut
terisi penuh, pikiran akan tertidur, hikmah tidak akan muncul dan anggota tubuh
akan malas melakukan ibadah.
Puasa
mengajarkan sikap disiplin dan ketepatan, karena puasa menuntut orang yang
berpuasa untuk makan dan minum pada waktu yang telah ditentukan. Puasa dapat
menimbulkan rasa solidaritas di kalangan umat islam, baik yang berada di timur
maupun di barat. Mereka berpuasa dan berbuka pada satu waktu. Merek
melakukannya karena tuhan mereka satu dan ibadahnya pun padu.
Puasa
dapat menumbuhkan naluri kasih sayang, ukhuwah, dan perasaan keterikatan dalam
tolong menolong yang dapat menjalin rasa persaudaraan sesame umat islam.
Perasaan lapar dan perlu makanan, misalnya, bisa mendorong seseorang untuk
bersilatur rahmi dengan orang lain serta ikut berperan dalam menghilangkan
bahaya kemiskinan, kelaparan, dan penyakit. Hal itu, jelas akan semakin
menguatkan ikatan social antar sesama manusia dan akan membangkitkan mereka
untuk saling membantu dalam memberantas penyakit-penyakit masyarakat (deviasi
social).
Puasa
secara praktis, memperbarui kehidupan manusia yaitu dengan membuang makanan
yang telah lama mengendap dan menggantinya dengan yang baru, mengistirahatkan
perut dan alat pencernaan, memelihara tubuh dan membersihkan sisa makanan yang
mengendap yang tidak tercerna, serta menghilangkan bau busuk yang dsebabkan
makanan dan minuman.
Puasa
merupakan perjuangan mengekang hawa nafsu serta membebaskannya dari cengkraman
dosa dunia. Puasa bisa mengendalikan hawa nafsu, mendidiknya dan
mendisiplinkannya dalam hal makanan dan minuman.
BAB II
PEMBAHASAN
(PUASA)
A.
TUJUAN
PUASA
Secara jelas Al-Quran
menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk
mencapai ketakwaan atau la’allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan
tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi
Saw.misalnya, “Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu
daripuasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.”
Berarti
bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini
dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa “Allah menghendaki untuk kamu kemudahan
bukan kesulitan.”
Ini
berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak
segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan
rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa
dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang
berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu
dari siang hari puasa. Nah, kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan
keinginan itu. Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian,
dia dapat saja bersembunyi dari pandangan mereka. Di sini disimpulkan bahwa
orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah Swt.
Sementara pakar ada yang
menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya,
protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya. Tetapi
seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut
oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata.
Dengan berpuasa, manusia
berupaya dalam tahap awal dan minimal meneladani sifat-sifat Allah. Tidak makan
dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan
tidak pula berhubungan seks, walaupun suami istri.
Tentu saja sifat-sifat Allah
tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh
sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan
kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi. Upaya peneladanan ini
dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya. Karena itu,
nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran tersebut –bukan pada
sisi lapar dan dahaga– sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw.
menyatakan bahwa, “Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidakmemperoleh dari puasanya
kecuali rasa lapar dan dahaga.”
B. KEDUDUKAN PUASA
Allah ta’ala berfirman yang artinya:
………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
“Hai
orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepada kalian untuk berpuasa,
sebagaimana telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah : 183)
Puasa
Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam. Inilah kedudukannya (yang mulia) di
dalam agama Islam. Hukumnya adalah wajib berdasarkan ijma’/kesepakatan kaum
muslimin karena Al-Kitab dan As-Sunnah menunjukkan demikian.
Dalam
surat Al-Baqarah Ayat 183 di atas, Allah mengarahkan pembicaraannya (di dalam
ayat ini, pen) kepada orang-orang yang beriman. Sebab puasa Ramadhan merupakan
bagian dari konsekuensi keimanan. Dan dengan menjalankan puasa Ramadhan akan
bertambah sempurna keimanan seseorang. Dan juga karena dengan meninggalkan
puasa Ramadhan akan mengurangi keimanan. Para ulama berbeda pendapat mengenai
orang yang meninggalkan puasa karena meremehkannya atau malas, apakah dia kafir
atau tidak? Namun pendapat yang benar menyatakan bahwa orang ini tidak kafir.
Sebab tidaklah seseorang dikafirkan karena meninggalkan salah satu rukun Islam
selain dua kalimat syahadat dan shalat.”
Menunaikan kewajiban merupakan
ibadah yang sangat utama, karena kewajiban merupakan amalan yang paling
dicintai oleh Allah. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadits yang artinya, “Dan
tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada dengan suatu amalan yang lebih Aku
cintai daripada dengan menunaikan kewajiban yang Aku bebankan kepadanya…” (HR.
Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Amal-amal
wajib lebih utama daripada amal-amal sunnah. Menunaikan amal yang wajib lebih
dicintai Allah daripada menunaikan amal yang sunnah. Ini merupakan pokok agung
dalam ajaran agama yang ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at dan ditetapkan
pula oleh para ulama salaf.
C.
MACAM-MACAM PUASA
Menurut
para ahli fiqih, puasa yang ditetapkan syariat ada 4 (empat) macam, yaitu puasa
fardhu, puasa sunnat, puasa makruh dan puasa yang diharamkan.
1.
PUASA
FARDHU
Puasa fardhu adalah puasa yang harus
dilaksanakan berdasarkan ketentuan syariat Islam. Yang termasuk ke dalam puasa
fardhu antara lain:
a.
Puasa bulan Ramadhan
Puasa dalam bulan Ramadhan dilakukan
berdasarkan perintah Allah SWT dalam Al-Qur’an sebagai berikut :
…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
“(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan
hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah
atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al
Baqoroh: 185)
b.
Puasa Kafarat
Puasa kafarat adalah puasa sebagai
penebusan yang dikarenakan pelanggaran terhadap suatu hukum atau kelalaian
dalam melaksanakan suatu kewajiban, sehingga mengharuskan seorang mukmin
mengerjakannya supaya dosanya dihapuskan.
c.
Puasa Nazar
Adalah puasa yang tidak diwajibkan
oleh Tuhan, begitu juga tidak disunnahkan oleh Rasulullah saw., melainkan
manusia sendiri yang telah menetapkannya bagi dirinya sendiri untuk membersihkan
(Tazkiyatun Nafs) atau mengadakan janji pada dirinya sendiri bahwa apabila
Tuhan telah menganugerahkan keberhasilan dalam suatu pekerjaan, maka ia akan
berpuasa sekian hari. Mengerjakan puasa nazar ini sifatnya wajib. Hari-hari
nazar yang ditetapkan apabila tiba, maka berpuasa pada hari-hari tersebut jadi
wajib atasnya dan apabila dia pada hari-hari itu sakit atau mengadakan
perjalanan maka ia harus mengqadha pada hari-hari lain dan apabila tengah
berpuasa nazar batal puasanya maka ia bertanggung jawab mengqadhanya.
2.
PUASA
SUNNAT
Puasa sunnat (nafal) adalah puasa
yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala dan apabila tidak dikerjakan
tidak berdosa. Adapun puasa sunnat itu antara lain :
1)
Puasa 6
(enam) hari di bulan Syawal
2)
Puasa
Tengah bulan (13, 14, 15) dari tiap-tiap bulan Qomariyah
3)
Puasa hari
Senin dan hari Kamis.
4)
Puasa hari
Arafah (Tanggal 9 Dzulhijjah atau Haji)
5)
Puasa
tanggal 9 dan 10 bulan Muharam.
6)
Puasa nabi
Daud as. (satu hari bepuasa satu hari berbuka)
Mengenai masalah puasa Daud ini,
apabila selang hari puasa tersebut masuk pada hari Jum’at atau dengan kata lain
masuk puasa pada hari Jum’at, hal ini dibolehkan. Karena yang dimakruhkan
adalah berpuasa pada satu hari Jum’at yang telah direncanakan hanya pada hari
itu saja.
7)
Puasa
bulan Rajab, Sya’ban dan pada bulan-bulan suci
3.
PUASA
MAKRUH
Menurut fiqih 4 (empat) mazhab,
puasa makruh itu antara lain :
1)
Puasa pada
hari Jumat secara tersendiri
Berpuasa pada hari Jumat hukumnya
makruh apabila puasa itu dilakukan secara mandiri. Artinya, hanya mengkhususkan
hari Jumat saja untuk berpuasa.
2)
Puasa
sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadhan
3)
Puasa pada
hari syak (meragukan)
4.
PUASA
HARAM
Puasa haram adalah puasa yang
dilarang dalam agama Islam. Puasa yang diharamkan. Puasa-puasa tersebut antara
lain:
1)
Puasa pada
dua hari raya
2)
Puasa
seorang wanita dengan tanpa izin suami
BAB III
PENUTUP
Ø Kesimpulan
1)
Puasa adlah ibadah yang dapat membentuk
peribadi manusia berakhlak mulia, juga dapat mempertebal rasa ketaqwaan seorang
hamba terhadap Allah SWT.
2)
Puasa merupakan bentuk ketaatan seorang
mukmin terhadap Tuhan, sebab puasa hanya diperuntukkan bagi Allah dengan
mengharap ridlo-Nya.
3)
Puasa mengajarkan untuk dapat bersifat
jujur, melatih kedisiplinan, menumbuhkan rasa kasih sayang dan persaudaraan.
4)
Dengan berpuasa mampu mengendalikan hawa
nafsu, karena dengan berpuasa seseorang harus menjaga dari hal-hal yang dapat
membatalkan puasa atau sekedar hal-hal yang dapat membatalkan pahalanya. Sebab
Rasulullah bersabdah, “Banyak diantara orang yang berpuasa tidak memperoleh
sesuatu dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga.
5)
Menunaikan kewajiban adalah ibadah yang
paling utama. Dan amalan-amalan yang wajib lebih utama dari amalan-amalan yang
sunnah. Inilah pokok agung yang ditunjukkan dalil-dalil syariat dalam agama
islam.
DAFTAR PUSTAKA
1)
Sulaiman
Rasjid, H. 1992. Fiqih Islam.
Bandung: Sinar Baru Algensindo
2)
Jawad
Mughniyah, Muhammad. 1990. Fiqih Lima
Madzhab. Jakarta: Lentera Basritama
3)
Sabiq,
Sayid. 1990. Fiqih Sunnah. Bandung:
Al-Ma’arif
4)
Dan
beberapa Website yang relevan dengan pembahasan materi yang kami bahas.
Category: makalah PAI
0 komentar