ULUMUL QUR'AN (nuzulul qur'an)
NUZULUL
QUR’AN
A. Pengertian Nuzulul Qur’an
Secara
etimologis
Nuzulul Qur’an terdapat dua kata yaitu kata Nuzul dan Al-Qur’an. Kata Nuzul
memiliki beberapa pengertian. Menurut Ibn Faris, kata Nuzul berarti hubuth
syay wa wuqu’uh, turun dan jatuhnya sesuatu.1 Sedang menurut al-Raghib al-Isfahaniy,
kata Nuzul berarti الهُبُوْطُ مِنْ عُلُقٍّ اِلَى سَفْلٍ ,meluncur atau
turun dari atas ke
bawah.2 Kata nuzul, bisa juga berarti
singgah atau tiba di tempat tertentu. Pengertian ini, sebagaimana dikatakan al-Zamakhsari
dalam kitabnya asas al-Balaghah, menganggap pengertiannya ini sebagai makna
hakiki.
Menurut
al-Zarqoni, kata Nuzul di ungkapkan dalam penuturanya yang lain untuk
pengertian perpindahannya sesuatu dari atas ke bawah.3
Dr. Ahmad al-Sayyid al-Kumi dan Dr. Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim dalam
buku yang mereka tulis bersama, kedua guru besar ‘Ulum Qur’an dari Al-Azhar
Kairo ini mengartikan Nuzul adalah
turun secara berangsur dan kadang sekaligus.4
Di dalam hubungannya dengan pembahasan Nuzulul Qur’an, kata
Syekh Abd al-Wahhab Abd al-Majid Ghazlan di dalam Al-Bayan fi Mabahitsi ‘Ulum Al-Qur’an-nya, bahwa yang disebut
dengan nuzul, adalah turunnya sesuatu
dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah. Oleh karena dalam konteks
Al-Qur’an, nuzul yang berarti turun
itu bukan berbentuk fisik, tetapi mengandung pengertian majaziy. Dan apabila yang dimaksud turun adalah lafadz, maka nuzul bearti Al-Isyal (penyampaian) dan Al-I’lamm
(penginformasian).
1Abi
al-Hussein Ahmad Ibn Faris ibn Zakariya, Maqoyis al-Lughoh (Bairut: Dar
al-‘Ilm Li al-Malayyin, t.t.), hlm.342 (http:samsulabidin.wordpress.com.html)
2Al-Raghib sal-Isfahaniy, al-Mufradat fi aAlfadz
Alqur’an al-Karim (Bairut: Dar al-Fikr, 1982), hlm.824
(http:samsulabidin.wordpress.com.html)
3Muhammad ‘Abd al-‘Azrqoni, Mahahil Irfan fi ‘Ulum
Al-Qur’an, jilid I (Berut: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 41.
(http:samsulabidin.wordpress.com.html)
4 Dr. Ahmad al-Sayyid al-Kumi dan Dr.
Muhammad Ahmad Yusuf al-Qasim, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung : Remaja
Rosdakarya Offset, 1994),
hlm. 23
Sedangkan Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang".
Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a
yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah
satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada surat Al-Qiyamat ayat 17 dan 18 yang
artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam
dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami.
(Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan}
bacaannya”.
Bearti secara Terminologi Nuzulul Qur’an
adalah merupakan
peristiwa turunnya ayat al-Quran yang pertama kepada Nabi Muhammad SAW. hingga
seterusnya berperingkat-peringkat menjadi lengkap sebagaimana kitab al-Quran
yang ada pada hari ini.
B. Tahapan Nuzulul Qur’an
1.
Tahap pertama, Al-Qur’an diturunkan atau ditempatkan di Lauh Mahfudh, yakni suatu
tempat di mana manusia tidak bisa mengetahuinya secara pasti. Hal ini
sebagaimana diisyaratkan dalam QS Al-Buruj : 21-22.
بَلْ
هُوَ قُرْآنٌ مَّجِيدٌ. فِي
لَوْحٍ مَّحْفُوظٍ
Artinya : Bahkan yang didustakan
mereka itu ialah Al Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.
Penjelasan mengenai sejak kapan Al-Qur’an ditempatkan di Lauh
Mahfudh, dan bagaimana caranya adalah merupakan hal-hal gaib yang menjadi
bagian keimanan dan tidak ada yang mampu mengetahuinya selain dari Allah
swt. Dalam konteks ini Al-Qur’an diturunkan secara sekaligus maupun secara
keseluruhan. Hal ini di dasarkan pada dua argumentasi. Pertama: Karena
lahirnya nash pada ayat 21-22 surah al-Buruj tersebut tidak
menunjukkan arti berangsur-angsur. Kedua, karena rahasia/hikmah
diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur tidak cocok untuk tanazul
tahap pertama tersebut. Dengan demikian turunnnya Al-Qur’an pada tahap
awal, yaitu di Lauh Fahfudz dapat dikatakan secara sekaligus dan
tidak berangsur-angsur.
2.
Tahap kedua, Al-Qur’an turun dari Lauh
Mahfudh ke Baitul `Izzah di Sama’
al-Dunya (langit dunia), yakni setelah Al-Qur’an berada di Lauh Fahfudh, kitab Al-Qur’an itu turun ke Baitul `Izzah di langit dunia atau langit terdekat dengan
bumi ini. Banyak isyarat maupun penjelasannya dari ayat-ayat Al-Qur’an maupun
hadits
Nabi SAW. antara lain sebagai berikut dalam Surat Ad-Dukhan ayat 1-6 :
حم . وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ . إِنَّا
أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ . فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ. أَمْراً
مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ . رَحْمَةً
مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Ha-Mim.
Demi Kitab (Al Qur’an) yang menjelaskan, sesungguhnya Kami menurunkannya pada
suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu)
urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus
rasul-rasul, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS Ad-Dukhan 1-6).
Hadis riwayat Hakim dari Sa`id Ibn Jubair
dari Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad saw bersabda: Al-Qur’an itu dipisahkan
dari pembuatannya lalu diletakkan di Baitul Izzah dari langit dunia, kemudian
mulailah Malaikat Jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.
Hadis riwayat al-Nasa’i, Hakim dan Baihaki dari Ibnu Abbas ra.
Beliau berkata: Al-Qur’an itu
diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam Qadar, kemudian setelah
itu diturunkan sedikit demi sedikit selama duapuluh tahun.
3.
Tahap ketiga, Al-Qur’an turun dari Baitul-Izzah
di langit dunia langsung kepada Nabi Muhammad SAW., yakni setelah wahyu
Kitab Al-Qur’an itu pertama kalinya di tempatkan di Lauh Mahfudh, lalu keduanya diturunkan ke Baitul Izzah di
langit dunia, kemudian pada tahap ketiga Al-Qur’an disampaikan langsung kepada
Nabi Muhammad saw dengan melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam hal
ini antara lain tersebut dalam QS Asy-Syu`ara’ : 193-194, Al-Furqan
:32 sebagai berikut:
نَزَلَ
بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى
قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ (194)
Artinya : Ia
(Al-Qur’an) itu dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril) ke dalam hatimu
(Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan
(Asy-Syu`ara’: 193-194).
وَقَالَ
الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْلَا نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْآنُ جُمْلَةً وَاحِدَةً
كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلاً (32)
Artinya : Berkatalah
orang-orang kafir, mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali
turun saja. Demikianlah supaya Kami perbuat hatimu dengannya dan Kami
(menurunkan) dan membacakannya kelompok demi kelompok (Al-Furqan ayat 32).
C. Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an
Secara Berangsur-angsur
1.
Meneguhkan
hati Rasulullah saw. Dalam melaksanakan tugasnya, kendati ia menghadapi
hambatan dan tantangan. Disamping
itu dapat juga menghibur hati beliau pada saat menghadapi kesulitan, kesedihan
atau perlawanan dari orang-orang kafir.
2.
Untuk
memudahkan nabi saw. dalam
menghafal lafadz al-Qur’an, mengingat al-Qur’an bukan sya’ir atau prosa, tetapi kalam
Allah yang sangat berbobot isi maknanya, sehingga memerlukan hafalan dan kajian
secara kusus.
3.
Agar mudah
dimengerti dan dilaksanakan segala isinya oleh umat islam.
5Supiana,
M.Ag, & M. Karman, M.Ag. dalam bukunya Ulumul Qur’an, yang mereka
kutip dari Muhammad Bakir Isma’il, Dirasat fi ‘Ulum Alqur’an,
hlm.34-37.
4.
Di antara
ayat-ayat al-Qur’an, menurut ulama’ ada yang nasikh dan ada yang mansukh
, sesuai dengan kemaslahatan. Hal ini tidak akan jelas jika al-Qur’an di
Nuzulkan secara sekaligus.
5.
Untuk
meneguhkan dan menghibur hati umat islam yang hidup semasa dengan Nabi.
6.
Untuk
memberi kesempatan sebaik-baiknya kepada umat Islam untuk meninggalkan sikap
mental atau tradisi-tradisi jahiliyah yang negatif secara berangsur-angsur.
7.
Al-Qur’an
yang di Nuzulkan secara periodik, sebenarnya mengandung kemukjizatan tersendiri. Bahkan hal itu dapat
membangkitkan rasa optimisme pada diri Nabi, sebab setiap persoalan yang
dihadapi dapat dicarikan jalan
keluarnya dari penjelasan al-Qur’an.
8.
Untuk
membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar kalam Allah, bukan kalam Muhammad.
Tentang rentang waktu dimana Nabi Muhammad menerima Al-Qur’an, Abd
al-Wahhab Abd al-majid Ghazlan dalam Mabahits
fi’Ulum Al-Qur’an menerangkan tiga pendapat, yaitu : Pertama, bahwa
Al-Qur’an diturunkan berturut-turut selama dua puluh tahun. Kedua, bahwa
Al-Qur’an diturunkan selama dua puluh tiga tahun. Ketiga, Nabi Muhammad
menerima Al-Qur’an selama dua puluh lima tahun. Dan tak satupun pendapat di
atas yang menunjukkan secara cermat mengenai masa dimana Rasulullah menerima
Al-Qur’an.
Seperti
diketahui bahwa Muhammad bin Abdullah lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal.
Sedangkan pada usia 40 tahun, malam jum’at tanggal 17 bulan Ramadhan beliau
menerima ayat Al-Qur’an yang pertama. Dan Rasulullah wafat pada usia 63 tahun
pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal juga. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan,
bahwa Rasulullah SAW. menerima wahyu Al-Qur’an selama 22 tahun 6 bulan.6 Tetapi
ada yang berpendapat bahwa Al-Quran
diturunkan berangsur-angsur dalam kurun waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari (23
tahun), dengan 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah.7
6Kamaluddin
Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an (Bandung :
Remaja Rosdakarya Offset, 1994), hlm. 28
7Dr.
Aswadi Syuhadak, M.Ag., Metode dan Materi
Pendidikan Melalui Pendekatan Nuzul Al-Qur’an,(http://blog.sunan-ampel.ac.id/pendekatan-nuzul-al-quran : 2010)
D. Pemeliharaan Al-Qur’an pada Masa
Nabi dan Khulafaurrasyidin
1. Pada Masa Nabi Muhammad SAW.
Al-Qur’an
turun kepada Nabi yang Ummi yaitu tidak bisa membaca dan menulis. Karena itu
perhatian Nabi hanya dituangkan untuk sekedar menghafal dan menghayati agar
beliau dapat menguasai Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah beliau membacakan
kepada orang-orang dengan berita terang agar merekapun dapat menghafalkannya
serta memantapkannya.
Pada setiap kali Rasulullah menerima wahyu yang berupa
ayat-ayat Al-Qur’an beliau membacanya di depan para sahabat, kemudian para
sahabat menghafal ayat-ayat tersebut sampai di luar kepala. Namun beliau
menyuruh Kuttub (penulis wahyu) untuk menuliskan ayat-ayat yang baru diterima.
Diantara penulis wahyu adalah Zayd bin Tsabit. Adapun caranya mereka menulis
Al-Qur’an yaitu mereka menulisnya di pelepah-pelepah kurma, kepingan batu,
kulit/daun kayu, tulang binatang dan sebagainya.
Sudah menjadi ciri khas bagi umat Nabi Muhammad bahwa
kitab suci Al-Qur’an bisa dihafalakan dalam hati. Berbeda dengan para ahli
kitab, dari mereka tidak seorangpun yang hafal taurat atau injil. Dalam
mengabdikannya mereka hanya berpedoman dengan bentuk tulisan saja. Karena itu
masuklah unsur-unsur perubahan dan pergantian pada keduanya. Berbeda dengan
Al-Qur’an ia telah dipelihara Allah SWT. dengan berupa pertolongan ilahi dengan
mudah menghafalnya.
Pada peperangan badar, orang-orang musyrikin yang di
tawan oleh Nabi,yang tidak mampu menebus dirinya dengan uang,tetapi pandai
menulis baca,masing-masingnya di haruskan mengajar sepuluh orang muslim menulis
dan membaca sebagai ganti tebusan.
Di
dalam Al-Qur'an pun banyak ayat-ayat yang mengutarakan penghargaan yang tinggi
terhadap huruf, pena
dan tulisan. Karena itu
bertambahlah keinginan mereka untuk belajar menulis dan membaca,dan bertambah
banyaklah orang yang menuliskan ayat-ayat yang telah di turunkan.Nabi sendiri
mempunyai beberapa penulis yang bertugas menuliskan Al-Qur'an untuk
beliau.Penulis-penulis beliau yang terkenal ialah Ali bin Abi Tholib,Utsman bin
Affan,Ubay bin Ka'ab,Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah.Yang terbanyak menuliskan
ialah Zaid bin Tsabit dan Mu'awiyah.
Dengan
demikian terdapatlah di masa Nabi tiga unsur yang tolong-menolong memelihara
Al-Qur'an yang telah di turunkan itu.
1.
Hafalan dari mereka yang hafal
Al-Qur'an.
2.
Naskah-naskah yang di tulis untuk Nabi.
3.
Naskah-naskah yang di tulis oleh mereka
yang pandai menulis dan membaca untuk mereka masing-masing.
Dalam pada itu oleh Jibril di adakan ulangan (repetisi)
sekali setahun. Di waktu ulangan itu Nabi di suruh mengulang memperdengarkan Al-Qur'an yang
telah di turunkan.Di tahun dia wafat ulangan itu di adakan oleh Jibril dua
kali. Nabi sendiri sering pula mengadakan ulangan itu terhadap
sahabat-sahabatnya,maka sahabat-sahabat itu di suruh beliau membacakan Alqur'an
itu di mukanya,untuk menetapkan atau membetulkan hafalan atau bacaan mereka.
Ketika Nabi wafat Al-Qur'an itu telah sempurna di
turunkan dan telah di hafal oleh ribuan manusia,dan telah di tuliskan semua
ayat-ayatnya.
2.
Pada Masa Khulafaurrasyidin
a. Masa Abu Bakar
Pada
masa Abu Bakar terjadi perang Yamamah yang menelan banyak korban gugur sebagai
syuhada’. Di antara para syuhada’ tersebut termasuklah para huffazh (penghafal
Alquran) yang jumlahnya sekitar 70 orang, bahkan menurut suatu riwayat samapai
500 orang. Peristiwa ini menggugah hati Umar bin
al-Khaththab untuk mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar Alquran ditulis
kembali dan dibukukan dalam satu mushaf. Karena dikhawatirkan Alquran
akan hilang dengan hilangnya para huffazh. Melalui dialog dan adu
argumentasi, akhirnya usulan Umar ini diterima oleh Abu Bakar.
Selanjutnya, Abu Bakar menunjuk Zaid
bin Tsabit untuk mengumpulkan dan menulis Alquran dalam satu Mushhaf. Penunjukan
ini didasarkan pada kredibilitas Zaid sebagai salah seorang penulis wahyu pada
masa Nabi. Lalu Zaid pun bekerje dengan mengumpulkan dan memeriksa ayat-ayat
Alquran yang ditulis dihadapan Nabi pada kepingan-kepingan pelepah kurma,
batu-batu, dll. yang tersimpan di rumah kediaman Nabi. Sumber lain dalam
penulisan ini juga di dapat dari hafalan para sahabat penghafal Alquran.
Usaha kodifikasi ini dilakukan Zaid
dengan sangat teliti. Hal ini terlihat ketika Zaid tidak menemukan dua ayat
terakhir surat at-Taubah, sementara ayat tersebut ada dalam hafalannya dan
hafalan para sahabat yang lain, maka beliau pun terus mencari dan akhirnya
menemukan catatan dimaksud pada Abu Khuzaimah al-Anshary. Selain itu, bukti
ketelitian ini juga terlihat, bahwa catatan dan tulisan tersebut baru diakui
sebagai berasal dari Nabi apabila disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Demikianlah Zaid bin Tsabit
mengerjakan tugas kodifikasi ini yang hasilnya Alquran terkumpul dalam satu
Mushaf. Selanjutnya, Mushhaf ini disimpan oleh Abu Bakar sampai akhir hayatnya.
b.
Masa
Usman bin Affan
Pada masa pemerintahan Khalifah
Usman bin ‘Affan penyebaran Islam semakin meluas ke berbagai daerah. Begitu
pula para sahabat ahli qiraat dan penghafal Alquran, mereka berpencar tempat
tinggalnya, sejalan dengan terpencarnya kaum muslimin. Setiap sahabat ahli
qiraat mengajarkan qiraat Alquran yang qiraatnya, kadangkala berbeda antara
sahabat yang satu dengan yang lain kepada kaum muslimin di tempat tinggalnya
masing-masing. Ubayy bin Ka’ab, umpamanya, mengajarkan qiraat Alquran kepada
penduduk Syam; Abdullah Ibnu Mas’ud mengajarkan Alquran kepada penduduk Kufah,
Abu Musa Al-Asy’ari mengajarkan qiraat Alquran kepada penduduk Bashrah, dan
demikian seterusnya.
Konsekwensi perbedaan qiraat yang
diajarkan oleh masing-masing sahabat tersebut berakibat pada perpecahan di
kalangan umat Islam. Indikasi akan terjadinya perpecahan ini tertangkap oleh
Hudzaifah bin al-Yaman, ketika ia sedang memimpin penduduk Siria dan Irak dalam
suatu ekspedisi militer ke Armenia dan Azerbaijan. Pasukan yang berasal dari
Siria ternyata berbeda dalam membaca Alquran dengan pasukan dari Irak. Mereka
bertengkar karena masing-masing mempertahankan kebenaran bacaannya. Hal ini
mencemaskan Hudzaifah dan mendorongnya untuk melaporkan pertengkaran tersebut
kepada Khalifah Utsman bin Affan. Ia berkata kepada Khalifah, “Ya Amir
al-Mu’minin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka bertikai tentang Kitab
Allah, sebagaimana yang terjadi pada umat Yahudi dan Nashrani pada masa lalu”.
Untuk
mengatasi hal tersebut, maka Khalifah Usman membentuk suatu tim yang terdiri
dari: (1) Zayd bin Tsabit, (2) Abdullah bin Zubayr, (3) Sa’id bin al-‘Ash, dan
(4) Abd. Rachman bin Harits bin Hisyam. Kepada tim ini Khalifah memerintahkan
untuk menggandakan (menulis kembali) Mushhaf Alquran yang ditulis pada masa Abu
Bakar menjadi beberapa buah mushhaf. Mushaf-mushaf tersebut dikirimkan ke
berbagai daerah untuk dijadikan rujukan oleh umat Islam jika terjadi
perselisihan dalam qiraat Alquran. Mengenai banyaknya
mushhaf yang dikirim ke berbagai daerah ini terjadi perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Menurut Abu ‘Amr al-Dani, jumlahnya ada empat: satu disimpan di
Madinah, tiga lainnya dikirim ke Kufah, Bashrah dan Damaskus.
Sedangkan menurut Az-Zarqani, mushhaf tersebut ditulis sebanyak enam eksamplar,
masing-masing dikirimkan ke Mekkah, Syam, Bashrah, Kufah dan Madinah. Kemudian
satu eksamplar lagi disimpan sendiri oleh Khalifah, yang dikenal sebagai Mushhaf
al-Imam (Mushhaf Induk).
E. Pemeliharaan Al-Qur’an Setelah Masa
Khulafaurrasyidin
Mushaf yang ditulis atas perintah Ustman tidak
memiliki harakat dan tanda titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu
qira’at yang tujuh, ketika banyak orang non-Arab yang memeluk islam mereka
merasa kesulitan membaca mushaf itu, oleh karena itu pada masa khalifah Abd
Al-Malik (685-705) dilakukan penyempurnaannya. Upaya penyempurnaan itu tidak
berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi
sampai abad III H (atau akhir abad IX M).
DAFTAR PUSTAKA
Marzuki, Kamaludin. 1994. ‘Ulum Al-Qur’an.
Bandung : Remaja Rosdakarya
H. Ahmad Syadali, M.A. dan Drs. H. Ahmad Rofi’i,
Drs. 1997. Ulumul Quran I. Bandung : CV. Pustaka Setia
Ahmad Muin, Masran. 2008. Bahan Diskusi Kelas
Ulumul Quran. http://ulumulquran2007.blogspot.com
Al Haramain asy Syarifin Raja Fahd bin Abdul Aziz Al
Sa'ud, Khadim. 2009. Pemeliharaan
kemurnian Alqur'an di masa Nabi s.a.w. http://aishalife-line-myislam.blogspot.com
Abidin, Samsul. 2009. Nuzulul Qur’an.
http://samsulabidin.wordpress.com
Category: makalah PAI
0 komentar