Manusia dalam Konsepsi Ibnu Khaldun dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Islam,
manusia dianggap sebagai khalifah di bumi dan seluruh ciptaan lainnya tunduk
kepada manusia. Menurut al-Qur’an (2:30-31), setelah menciptakan manusia
pertama Adam, Allah SWT mengajarkan kepadanya nama-nama segala benda.[1] Dengan kebesaran-Nya, Allah
SWT menciptakan segalanya dari tiada menjadi ada. Kehendaknya adalah sumber
ciptaan dan setiap unsur dalam ciptaan memanifestasikan kekuasaan Allah SWT. Karena
itu setiap objek dalam ciptaan menunjukkan kualitas dan sifat-sifat Tuhan.
Dengan memberitahukan kepada Adam nama-nama benda, berarti membuatnya sadar
akan esensi ciptaan. Dengan kata lain membuat sadar akan sifat-sifat Tuhan dan
hubungan antara Tuhan dan ciptan-Nya. Ini bukanlah semata-mata kesadaran
intetektual yang terpisah dari kesadaran spiritual. Ini adalah kesadaran
spiritual yang mengontrol, membimbing, dan mempertajam intelek, dengan
menanamkan dalam diri nabi Adam perasaan ta’dzim dan hormat kepada Tuhan dan
membuatnya mampu menggunakan pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan
ummat manusia.[2]
Konsepsi manusia
sangat penting artinya dalam suatu sistem pemikiran dan di dalam kerangka
berfikir seorang pemikir. Konsep manusia sangat penting, karena itu termasuk bagian dari pandangan
hidup.[3] Karenanya meskipun manusia tetap diakui
sebagai misteri yang tidak pernah tuntas, keinginan untuk mengetahui hakikatnya
ternyata tidak pernah berhenti. Pandangan mengenai manusia berkaitan erat dan
bahkan merupakan bagian dari sistem kepercayaan yang akhirnya akan
memperlihatkan corak peradabannya.
Dengan demikian
pandangan tentang hakikat manusia merupakan masalah sentral yang mewarnai
berbagai segi peradaban yang dibangun diatasnya. Konsep manusia tersebut sangat
penting bukan demi pengetahuan akan manusia itu sendiri, tetapi lebih penting
adalah ia merupakan syarat bagi pembenaran kritis dan landasan yang aman bagi
pengetahuan manusia.
Allah SWT
menyuruh manusia untuk menyadari dirinya sendiri, merenungkan dan memikirkan
hakikat hidupnya dari mana asalnya dan hendak kemana dia, serta bagaimana ia
hidup didunia ini. Sebagaimana Firman Allah SWT:
وفي انفسكم افلا تبصرون ) الذاريات : (٢١
Artinya : “dan (juga) pada dirimu
sendiri, Maka apakah kamu tidak memperhatiakan”. (Q.S. Adz-Dzaariyaat :
21).[4]
Menurut Murtadha
Muthahari merenungkan manusia tidaklah semata-mata karena al-Qur’an menyuruhnya
sebagaimana ayat diatas, tetapi ia merenungkan manusia untuk mencerahkannya,
menyadarkannya dan membawa hidup dalam sistem Illahiyah yang luhur.[5]
Manusia perlu
mengenal dan memahami hakikat dirinya sendiri agar mampu mewujudkan
eksistensinya. Pengenalan dan pemahaman ini akan mengantar manusia kepada
kesediaan mencari makna dan arti kehidupan sehingga hidupnya tidak menjadi
sia-sia. Dalam pengertian ini dimaksudkan makna dan arti sebagai hamba Allah
SWT dalam rangka menjalankan hak dan kewajiban atau kebebasan dan tanggung
jawab mencari ridla-Nya.[6]
Agustinus
memperhatikan manusia sebagai makhluk yang menakjubkan. Karl Jasper menyebut
manusia sebagai makhluk yang unik, serba meliputi, sangat terbuka, punya
potensi yang agung tetapi juga bahaya yang terbesar bagi dirinya.[7]
Aliran
Behavourisme yang disponsori oleh Ivan Pavlav dan kawan-kawannya memandang
lemah terhadap manusia, mengingkari potensi alami yang dipunyai manusia,
padahal secara empirik perbedaan individual antara manusia dan manusia lain
begitu banyak terlihat. Aliran ini kurang menghargai bakat dan potensi alami
manusia, apapun jadinya seseorang, maka satu-satunya yang menentukan adalah
lingkungannya. Aliran ini cenderung mereduksi hakikat manusia karena menurutnya
manusia tidak memiliki jiwa, kemauan, dan kebebasan untuk menentukan tingkah
lakunya.[8]
Psikoanalisis
(Freud) berpandangan bahwa manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh naluri
biologis, mengejar kesenangan dan menghindari hal-hal yang tidak mengenakan.
Pandangan yang seperti ini melihat manusia tidak begitu beda dengan binatang,
kasar, agresif, tamak, dan mementingkan diri sendiri. Kaum Humanis (Maslow)
memandang manusia memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari binatang. Ia tidak
saja digerakkan oleh dorongan biologis tetapi juga oleh kebutuhan untuk mengembangakan
dirinya sampai bentuk yang ideal (Self Actualization) manusia yang unik,
rasional, bertanggungjawab dan memiliki kesadaran.[9]
Islam
berpandangan bahwa hakikat manusia adalah merupakan perkaitan antara badan dan
ruh. Keduanya merupakan substansi yang berdiri sendiri dan makhluk yang
diciptakan Allah SWT. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an :
واذ قال ربك للملئكة اني خالق بشرا من صلصا ل من حما مسنون.
فاذا سويته ونفخت فيه من روحي فقعوا له سجدين.) الحجر: ٢٨ـ(٢٩
Artinya : “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (Q.S. Al-Hijr : 28-29).[10]
Dalam proses
perkembangan dan pertumbuhan pisik manusia tidak ada bedanya dengan proses
perkembangan dan pertumbuhan pada hewan, hanya pada kejadian manusia sebelum
makhluk yang disebut manusia itu dilahirkan dari rahim ibunya, Tuhan telah
meniupkan ruh ciptaan-Nya ke dalam tubuh manusia. Inilah yang membedakan
manusia dengan hewan karena Tuhan tidak meniupkan ruh pada hewan.[11] Menurut Azhar Basyir yang
pertama harus dipahami adalah bahwa manusia
berasal dari ruh ciptaan Allah (ruhun-minhu).[12] Manusia terdiri dari dua
substabsi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh dari Tuhan. Dengan
demikian dapat diambil kesimpulan bahwa hakikat manusia adalah ruh, sedangkan jasad
adalah hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk menjalani kehidupan di
dunia ini.
Dalam pandangan
Ibnu Khaldun, manusia secara eksistensial adalah makhluk yang terdiri dari
jasmani dan rohani,[13] dalam
kemampuannya manusia berhubungan dengan realitas “atas” dan “bawah”. Melalui
realitas bawah manusia berhubungan dengan raga dan lewat raga
berhubungan dengan dunia fisik, sedangkan melalui realitas atas, jiwa
manusia berhubungan dengan dunia ruhaniyah, itulah yang disebut dengan dunia
malaikat.[14]
Yang membedakan
antara manusia dengan binatang adalah kemampuan sapiens, economicus, dan
religius, hal ini dikarenakan manusia memiliki perangakat yang tidak
dimiliki oleh binatang yaitu akal dan kemampuan berfikir, binatang hanya
memiliki nafsu syahwat, tidak mempunyai akal.
Sedangkan yang
membedakan antara manusia dengan malaikat adalah manusia mempunyai akal dan
nafsu syahwat, sedang malaikat hanya
mempunyai akal, tidak mempunyai nafsu syahwat. Maka dengan akalnya
manusia mempunyai bagian tingkah laku seperti bagian yang dimiliki oleh
malaikat, dan dengan tabiatnya/nafsu syahwatnya manusia memiliki bagian tingkah
laku seperti bagian yang dimiliki oleh binatang. Oleh karena itu apabila
tabiatnya/nafsu syahwatnya itu mengalahkan akalnya maka dia akan lebih jelek
dari pada binatang. Dan begitu juga sebaliknya apabila akalnya dapat
mengalahkan tabiatnya/nafsu syahwatnya maka dia lebih baik dari pada malaikat.[15]
Manusia
diciptakan Allah SWT dalam struktur yang paling baik diantara makhluk yang
baik. Ia juga dilahirkan dalam keadaan fitrah, bersih dan tidak ternoda.
Pengaruh-pengaruh yang datang kemudianlah yang akan menentukan seseorang dalam
mengemban amanat sebagai khalifah-Nya.[16] Sebagaimana Nabi
Muhammad bersabda :
عن أبى هريرة ؛ أنه
كان يقول : قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم
ما من مولود الا يولد علىالفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه.
Artinya : “Dari Abu Hurairah
katanya : Bersabda Rasulullah Saw. tiap-tiap anak dilahirkan dengan keadaan
putih bersih maka dua ibu bapaknya yang meng-Yahudikan atau me-Nasranikan atau
me-Majusikan”. (H.R. Muslim).
Allah SWT
memberikan anugrah berupa fitrah atau potensi kepada manusia, yang harus
dikembangkan dan diaktualisasikan agar dapat memberikan manfaat bagi
kepentingan hidupnya. Sebagai khalifah, ia haruslah memiliki kekuatan untuk
mengolah alam dengan menggunakan segenap daya dan potensi yang dimilikinya. Sebagai
‘abd ia harus melaksanakan seluruh usaha dan aktifitasnya dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.[18] Dengan pandangan yang
terpadu ini maka sebagai khalifah tidak akan berbuat sesuatu yang mencerminkan
kemungkaran atau bertentangan dengan kehendak Tuhan.
Untuk dapat
melaksanakan fungsi kekhalifahan dan ibadah dengan baik, manusia perlu
diberikan pendidikan, pengajaran, pengalaman, ketrampilan, tekhnologi dan
sarana pendukung lainnya. Ini menunjukkan konsep khalifah dan ibadah dalam
al-Qur’an erat kaitannya dengan pendidikan.
Pendidikan
merupakan suatu usaha untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan serta
melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya, dan pendidikan akan mengarahkan
kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas.[19]
Selain itu, dalam
Islam, pendidikan bertujuan menumbuhkan keseimbangan pada kepribadian manusia
melalui latihan spiritual, intelektual, rasional diri, perasaan, dan kepekaan
tubuh manusia. Karena itu pendidikan seharusnya menyediakan jalan bagi
pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya. Spiritual, intelektual, imaginatif,
fisikal, ilmiah, linguistik, baik secara individual maupun secara kolektif dan
memotivasi semua aspek untuk mencari kebaikan dan kesempurnaan. Pada gilirannya
tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan penyerahan mutlak kepada Allah SWT
pada tingkat individual, masyarakat, dan kemanusiaan pada umumnya.[20]
Apapun dan
bagaimanapun kesimpulan ilmu pengetahuan tentang hakikat manusia, dimaksud
dijadikan dasar untuk pembinaan kepribadian manusia. Dengan mengerti struktur
jiwa dan hakikat manusia, maka manusia akan memahami dan menyadari hidup dan
kehidupan yang mulia disisi Allah SWT. Berkaitan dengan pendidikan, dengan
mengetahui tentang kedudukan manusia dan potensi yang dimiliki serta peranan
yang harus dijalankannya, maka diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar bagi
perumusan tujuan pendidikan Islam, pendekatan yang harus ditempuh dalam proses
pendidikan Islam serta aspek-aspek lain yang mendukung dalam pendidikan Islam.
Pengetahuan
tentang konsep manusia juga penting karena manusia merupakan subjek dan objek
yang terlibat dalam kegiatan pendidikan. Tanpa ada kejelasan tentang konsep
manusia dan pemahaman yang mendalam tentangnya, maka akan sulit menentukan arah
yang akan dituju dalam pendidikan Islam.
Penulisan ini
akan mendeskripsikan manusia dalam konsepsi Ibnu Khaldun dan mengadakan
tinjauan dan pembahasan secara mendalam tentang implikasinya terhadap
pendidikan Islam.
A.
Alasan Pemilihan Judul
Ada beberapa
alasan essensial yang menjadi pertimbangan penulis dalam penyusunan judul
skripsi “Manusia dalam Konsepsi Ibnu Khaldun dan Implikasinya terhadap
Pendidikan Islam”, antara lain :
1.
Konsep manusia yang dijabarkan oleh Ibnu Khaldun memiliki
corak pemikiran yang berbeda dengan pemikir-pemikir lain. Sebab disamping
beliau memiliki wawasan yang luas
tentang Islam, beliau juga seorang intelektual muslim yang mempunyai
pengetahuan mendalam dalam bidang sejarah, sosiolgi, filsafat, dan agama.
Sehingga dalam menguraikan konsep manusia akan terasa pengaruh-pengaruh dari
bidang-bidang ilmunya tersebut. Hal ini membuat pembahasannya lebih dinamis dan
universal.
2.
Dengan menelaah konsep manusia yang mendalam, maka akan dapat
mengetahui hakekat, eksistensi, dan karakteristik manusia, serta aspek-aspek
lain yang berhubungan dengan penciptaan manusia di muka bumi sebagai khalifah.
Dengan demikian akan terbentuk kesadaran berfikir tentang jati diri dan
kepribadian manusia selaku makhluk Allah SWT yang paling sempurna.
3.
Konsepsi manusia hasil pemikiran intelektual muslim akan
dapat membantu dalam merumuskan konsep pendidikan yang sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam. Dengan kata lain, tanpa adanya pemahaman tentang konsep manusia dan pengembangannya dalam Islam, maka konsep
pendidikan Islam tidak akan dapat sepenuhnya berhasil dan mencapai tujuan.
B.
Penegasan Istilah
Untuk menghindari
adanya kesalahpahaman dalam membahas atau menafsirkan judul di atas, maka perlu
kiranya bagi penulis menjelaskan arti dari masimg-masing istilah yang ada pada
judul “Manusia dalam Konsepsi Ibnu Khaldun dan Implikasinya terhadap Pendidikan
Islam”, yaitu sebagai berikut :
1.
Manusia
Kata manusia
dalam bahasa Arab (al-Qur’an) disebut dengan al-Basyar, an-Naas (al-Insaan),
dan al-Ins. Ketiganya dianggap sinonim, meskipun jika dipahami lebih
dalam terdapat perbedaan makna.[21] Dalam pembahasan
ini yang dimaksud dengan manusia adalah yang berasal dari kata al-Insaan,
yaitu makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki akal dan kemampuan berfikir.
2.
Konsepsi
Konsepsi
mempunyai arti pengertian, pendapat (paham), rancangan (cita-cita) yang telah
ada dalam pikiran.[22] Dalm judul ini
yang dimaksud adalah pengertian, gambaran, dan pendapat Ibnu Khaldun tentang
manusia.
3.
Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun
adalah seorang tokoh dan pemikir muslim abad pertengahan yang mempunyai nama
lengkap Abdul al-Rahman bin Muhammad bin Abi Bakar bin Hasan. Beliau dilahirkan
di Tunis pada tanggal 27 Mei 1332 M, dari keluarga Aristokrat yang berasal dari
Hadramaut dan wafat di Kairo pada tanggal 17 Maret 1406 M. Beliau dikenal
sebagai filosof sejarah muslim dengan karyanya yang monumental yaitu
“Muqaddimah”, dan beliau dikenal seorang yang briliyan dan jenius dalam
berbagai ilmu pengetahuan.[23]
4.
Implikasi
Implikasi adalah
mengandung, dampak atau pengaruh terhadap sesuatu.[24] Sedangkan dalam kamus besar
bahasa Indonesia, implikasi mengandung arti keterlibatan atau keadaan terlibat,
termasuk atau tersimpul.[25] Pada judul ini
implikasi yang dimaksud adalah pengaruh dan keterlibatan manusia dalam
pendidikan Islam.
5.
Pendidikan Islam
Para ahli berbeda
pendapat dalam merumuskan pengertian pendidikan Islam, diantaranya adalah yang
dikemukakan oleh Dr. Ali Ashraf. Menurutnya, pendidikan Islam adalah pendidikan
yang melatih sensibilitas murid-murid sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka
terhadap kehidupan, langkah-langkah, dan keputusan, serta pendekatan mereka
terhadap semua ilmu pengetahuan mereka diatur oleh nilai-nilai etika Islam yang
sangat dalam dirasakan.[26]
Muhammad ‘Athiyah
al-Abrasyi memberikan pengertian pendidikan Islam adalah sebagai upaya
mengembangkan berfikir bebas dan mandiri secara demokratis dengan memperhatikan
kecenderungan peserta didik secara individual yang menyangkut aspek kecerdasan,
akal, dan bakat yang dititik beratkan pada pengembangan akhlak.[27]
Sedangkan Ahmad
D. Marimba juga memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan
jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada
terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran-ukuran Islam.[28]
Pada judul ini
pendidikan Islam yang dimaksud adalah sebuah aktifitas untuk membentuk dan
mengembangkan pengetahuan berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam.
Jadi yang
dimaksud dengan judul “Manusia dalam Konsepsi Ibnu Khaldun dan Implikasinya
terhadap Pendidikan Islam” adalah pengertian, gambaran, dan pendapat Ibnu Khaldun
tentang manusia sebagai makhluk Allah SWT yang memiliki akal dan kemampuan
berfikir dihubungkan dengan pengaruh dan keterlibatan manusia dalam pembentukan
dan pengembangan pengetahuan yang berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam.
C.
Permasalahan
Dari beberapa
uraian singkat di atas, maka permasalahan yang dapat penyusun rumuskanan adalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana konsepsi manusia dalam pandangan Ibnu Khaldun?
2.
Apa dan bagaimana pendidikan Islam?
3.
Bagaimana implikasi konsep manusia menurut Ibnu Khaldun
terhadap Pendidikan Islam?
D.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
A. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian
ini adalah :
1.
Untuk mendeskripsikan konsepsi manusia menurut Ibnu Khaldun.
2.
Untuk mengetahui lebih dalam dan menguraikan tentang
pendidikan Islam.
3.
Untuk menguraikan implikasi dari konsep manusia Ibnu khaldun
terhadap pendidikan Islam.
B. Adapun kegunaan dari penelitian ini untuk :
1.
Mengungkapkan khasanah pemikiran Islam, yang masih terus
harus digali.
2.
Memberikan kontribusi dalam menambah khasanah ilmu
pengetahuan khususnya pendidikan Islam.
E.
Metode Penelitian
Dalam penelitian
skripsi ini penulis menggunakan dua macam metode penelitian, yaitu metode
pengumpulan data dan metode analisis data.
A. Metode Pengumpulan Data
Metode yang
dipergunakan untuk memperoleh data dalam penulisan skripsi ini metode
penelitian kepustakaan ( library research). Dengan cara menuliskan, mengedit,
mengklarifikasikan, mereduksi, dan menyajikan data yang diperoleh dari berbagai
sumber yang tertulis.[29]
Untuk mendapatkan
data-data tersebut ada beberapa sumber yang akan dipergunakan, yaitu :
1. Sumber Data Primer
Sumber data
primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber informasi yang
mempunyai wewenang dan bertanggungjawab terhadap pengumpulan data atau
penyimpanan data.[30] Sumber primer
yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dikembangkan dari buku Muqaddimah
Ibnu Khaldun, terjemahan Ahmadie Thoha.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data
skunder yaitu informasi yang tidak secara langsung mempunyai wewenang dan
bertanggungjawab terhadap informasi yang ada padanya.[31] Sumber ini diperoleh dari
berbagai data, buku-buku yang secara tidak langsung berkait erat dengan pokok
permasalahan antara lain :
1) Ahmad Syafi’i Ma’arif, Ibnu
Khaldun dalam Pandangan Penulis Barat dan Timur, Gema Insani Press,
Jakarta, 1996.
2) Aisyah bintu Syati, Manusia
dalam Persfektif al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999.
3) Ali Abdul Wahid al-Wafi, Ibnu
Khaldun Riwayat dan Karyanya, Graffiti Press, Jakarta, 1985.
4) Ali Ashraf, Horison Baru
Pendidikan Islam, (pen. Sori Siregar) Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996.
5) Fuad Baali dan Ali Wardi, Ibnu
Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, (terj. Mansuruddin dan Ahmadie Thaha),
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1989.
6) Hadari Nawawi, Hakekat Manusia
Menurut Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1992.
7) M. ‘Athiyah al-Abrasy, Pokok-pokok
Dasar Pendidikan Islam, (terj. H. Bustami A. Gani dan Djohar Bahry), Bulan
Bintang, Jakarta, 1974.
8) Murtadha Muthahari, Perspektif
al-Qur’an tentang Manusia dan Agama, Mizan, Bandung, 1998.
9) Omar Muhammad al-Toumy
al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (terj. Hasan Langgulung), Bulan
Bintang, Jakarta, 1979.
10) Rusman Thayyib, Darmu’in, Pemikiran
Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 1999.
B. Metode Analisis Data
Metode Pembahasan
yang akan digunakan terhadap konsepsi manusia menggunakan analisis-deskriptif
yakni membuat pencandraan secara sistematis faktual dan akurat.[32] Dengan pola berfikir
sebagai berikut :
1.
Pola Pikir Deduktif
Pola pikir
deduktif adalah pola berfikir bertolak dari hal-hal yang sifatnya umum menuju
kepada hal-hal bersifat khusus. Dengan pola pikir deduktif kita berangkat dari
suatu pengetahuan yang umum dan bertitik tolak dari pengetahuan yang umum itu
kita hendak menilai suatu kejadian khusus.[33] Metode analisis deduktif
digunakan untuk menilai dan menganalisis rumusan pemikiran Ibnu Khaldun tentang
konsepsi manusia.
2.
Poal Pikir Induktif
Pola pikir
induktif, yaitu pola berpikir bertolak dari hal-hal yang sifatnya khusus menuju
kepada hal-hal yang sifatnya umum. Berfikir induktif ini dimulai dari fakta
yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkrit, kemudian dari fakta-fakta atau
peristiwa yang kongkrit itu dicari generalisasi yang mempunyai sifat umum.[34] Metode induktif ini
digunakan untuk memformulasikan kerangka fikir yang lebih mendalam tentang
implikasi konsep manusia Ibnu Khaldun terhadap pendidikan Islam.
3.
Pola Pikir Reflektif
Pola pikir
reflektif adalah berfikir yang prosesnya mondar-mandir antara yang empirik
dengan yang abstrak.[35] Hal ini
bertujuan agar lebih mendapatkan hasil analisis yang akurat dan tepat sasaran.
4.
Pola Pikir Deskriptik Analitik
Yaitu seluruh
hasil penelitian harus dibahasakan karena ada kesatuan mutlak antara bahasa dan
pikiran, seperti badan dengan jiwa.[36] Dengan demikian
penulis mencoba menguraikan pembahasan ini dengan paradigma penyusun sendiri
sesuai dengan data-data yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada.
F.
Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam sistematika
penulisan skrpsi ini penulis menggunakan sistematika penulisan yang diuraikan
dalam tiga bagian yaitu bagian awal, bagian utama, dan bagian akhir.
1.
Bagian awal (prelemanasies) mencakup: halaman judul,
halaman nota pembimbing, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan,
halaman kata pengantar, dan halaman daftar isi.
2.
Bagian utama merupakan isi pokok dari skripsi ini yang
mencakup :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini meliputi
: Alasan pemilihan judul, penegasan istilah, permasalahan, tujuan dan kegunaan
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II : Membahas
tentang Manusia menurut Pandangan Ibnu
Khaldun. Pada bab ini meliputi : Biografi Ibnu Khaldun yang terdiri
dari: latar belakang keluarga, Ibnu Khaldun dan karir Politik, pendidikan dan
karya-karyanya. Konsepsi Manusia Ibnu Khaldun yang mencakup: pengertian
dan hakekat manusia, eksistensi manusia, dan kesempurnaan manusia.
Bab III : Membahas
tentang Konsep Pendidikan Islam yang meliputi : pengertian pendidikan Islam,
tujuan pedidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam, pendidik, dan metode
pendidikan Islam.
Bab IV : Analisis implikasi konsep manusia menurut Ibnu Khaldun terhadap
pendidikan Islam. Bab ini adalah untuk mengetahui sejauh mana implikasi konsep
manusia menurut Ibnu Khaldun terhadap pendidikan Islam yang meliputi:
keterkaitan antara konsep manusia dengan pendidikan Islam, implikasi konsep
manusia terhadap pendidikan Islam, dinamika kehidupan manusia dalam pendidikan
Islam, manusia dan pendidikan ideal.
Bab V : Penutup
Yang berisi
mengenai kesimpulan, saran-saran, dan kata penutup.
3.
Bagian akhir (reference matter) meliputi:
daftar pustaka, daftar riwayat hidup penulis, dan lampiran-lampiran.
[2] Ali Ashraf, Horison Baru
pendidikan Islam, (pen. Sori Siregar), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996, hlm.
1-2.
[3] M. Yasir Nasution, Manusia
Menurut al-Ghazali, Rajawali Press, Jakarta, 1988, hlm. 01.
[4] R.H.A.
Soenarjo, dkk.., Op. Cit, hlm.
859.
[5]
Murtadha Muthahari, Perspektif al-Qur’an tentang Manusia dan Agama,
Mizan, Bandung, 1990, hlm. 27.
[7] Murtadha Muthahari, Loc.
Cit., hlm. 27.
[8] Jamaluddin Ancok,
Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hlm. 66.
[9] Ibid, hlm. 67-68.
[10] R.H.A. Soenarjo, dkk., Op.,
cit., hlm. 393.
[11] Zuhairini, Filsafat
Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hlm. 77.
[12] Muhammad Syamsuddin, Manusia
dalam Pandangan KH. A. Azhar Basyir, MA., Titian Illahi Press, Yogyakarta,
1997, hlm. 77.
[13] Ibnu Khaldun, Muqaddimah,
(terj. Ahmadie Thoha), Pustaka Pirdaus, Jakarta, 1986, hlm. 528.
[14] Fachry Ali, Realitas
Manusia: Pandangan Sosiologis Ibnu Khaldun, (dalam M. Dawam Raharjo, Insan
Kamil: Konsepsi Manusia menurut Islam), Grafitti Pers, Jakarta, 1987, hlm.
156.
[15] Usman Alkhaibawi, Durratun
Nasihin, (AB. Abdullah Shonhadji, Almunawar, Semarang, tt., hlm. 109-110.
[16] Ibnu Khaldun, Loc. Cit., hlm.
145.
[17] Imam Abi Husain Muslim Ibn Hajjaj, Shahih Muslim, Juz
Iv, Darul al-Khutub, Beirut, tt. hlm. 2047.
[18] Abuddin
Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997,
hlm. 41.
[19] Marasudin Siregar, Konsepsi
Pendidikan Ibnu Khaldun: Tinjauan Fenomenologis, dalam Rusman
Thoyyib, Darmu’in, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik
dan Kontemporer, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 16.
[21] Aisyah bintu Syati, Manusia dalam Persfektif al-Qur’an, Pistaka Firdaus, Jakarta,
1999, hlm. 1.
[22] Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta, 1993, hlm. 456.
[23] Depag. RI., Ensiklopedi
Islam di Indonesia, Perguruan Tinggi IAIN Jakarta, Jakarta, 1992, hlm. 387.
[24] Tim Penulis Rosda, Kamus
Filsafat, Remaja Rosda Karya Offset, Bandung, 1995, hlm. 155.
[25] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, Op. Cit., hlm. 327.
[26] Ali Ashraf, Op.Cit.,
hlm. 23.
[27] Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi,
Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Bulan Bintang, Jakartas, 1970, hlm. 19.
[28] Ahmad D. Marimba, Pengantar
Filsafat Pendidikan, PT. al-Ma’arif, Bandung, 1989, hlm.23.
[29] Noeng Muhajir, Metodologi
Penelitian Kualitatif, Rake Sarasih, Yogyakarta, 1996, hlm. 30.
[30] Moh. Ali, Penelitian
Kependidikan, Prosedur dan Strategi, Angkasa, Bandung, 1987, hlm. 42.
[31] Ibid, hlm. 42.
[32] Sumadi Suryabrata, Metodologi
Penelitian, CV. Rajawali, Jakarta, 1983, hlm. 18.
[33] Sutrisno Hadi, Metodologi
Research I, Andi Ofset, Yogyakarta, 1984., hlm. 42.
[34] Ibid, hlm. 42.
Category: skripsi PAI
0 komentar