ilmu tasawwuf (ma'rifat)
BAB
I
PENDAHULUAN
Segala puji bagi Allah yang menguasai keagungan
kerajaan-Nya, Memanunggali keelokan, kahalusan, ke Maha Kuasaan serta
kekuasaan-Nya, Mendikdayani dengan keluhuran kesaan-Nya dan mengqudusi dengan
ketinggian fungsi sebagai pusat penghambaan. Saya bersaksi tiada Tuhan selain
Allah, Dzat yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya.
Suatu kesaksian seorang hamba yang telah yakin dengan
keEsaan-Nya dan juga orang yang meminta pelindungan dengan kebagusan
perlindungan Allah, dan kami bersaksi bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad adalah
hamba Allah yang telah terpilih, terpercaya, yang terkasih dan juga seorang
rosul yang terutus untuk semua makhluk Allah.
Semoga Allah
selalu melimpahkan rahmat dan salam kepada beliau, keluarga juga para
sahabatnya yang meneruskan perjungannya demi tegaknya agama islam. Manusia akan
mampu melihat Allah yaitu dengan pandangan mata hati, adalah apabila manusia
tersebut telah dibukakan pintu ma’rifatnya oleh Allah, Ma’rifat merupakan ilmu
untuk mengenal Allah.
Dalam dunia tasawuf, ma’rifat merupakan suatu hal yang
sangat penting, ma’rifat merupakan perjalanan rohani yang didambakan setiap
sufi, namun tidak semua sufi mampu mencapainya. Kaum sufi bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah dengan melihat Tuhan melalui mata batin.
Semoga Allah memberi manfaat kepada kita semua dengan
perantara makalah yang kami susun, serta memohon ampunan dari amal dan
perbuatan yang dimurkai-Nya, dengan memohon hidayah dan taufiq-Nya.
BAB
II
MA’RIFAT
A.
Pengertian
Ma’rifat
Firman
Allah dalam Surat Al-Anam 91 yang artinya sebagaimana berikut : Dan mereka
tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya”. (Al-Anam :91). Dalam
sebuah tafsir dijelaskan bahwa ayat tersebut bermakna “Mereka tidak mengenal
Allah (Ma’rifat) sebagaimana seharusnya Dia kenal”.[1]
Diriwayatkan
dari Aisyah r.a. bahwa Nabi Muhammad bersabda, “ pondasi sebuah rumah adalah
dasarnya. Pondasi agama adalah pengenalan kepada Allah, yaqin, dan akal yang
teguh”. Aisyah lalu bertanya, “Demi Ayah dan Ibuku, menjadi tebusanmu, apakah
akal yang teguh itu ?”. beliau menjawab, “menjaga dari maksiat terhadap Allah
dan bersemangat dalam mentaati Allah.[2]
Sebenarnya
sangat banyak pemaknaan tentang ma’rifat, sesuai dengan masing-masing pelaku
ma’rifat dn pengalamannya. Beberapa definisi ma’rifat antara lain :
·
Bahwa ma’rifat adalah
sifat orang-orang yang mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah SWT.
·
Menurut Imam Al-Gazali,
ma’rifat merupakan ilmu pengetahuan yang tidak bercampur dengan keraguan, yang
objek pengetahuannya tadi adalah dzat Allah SWT. Dan sifat-sifat-Nya.
·
Menurut Abu Zakariyah,
ma’rifat adalah ilmu pengetahuan yang telah sampai ke tingkat keyakinan yang
mutlak dalam meng-Esa-kan Allah SWT.[3]
Demikian
beberapa definisi ma’rifat menurut para ahli, sedangkan ma’rifat ditinjau dari
bahasa, para ulama’ mengartikan ma’rifat adalah ilmu, semua ilmu tentang Allah
SWT. disebut ma’rifat. dan semua ma’rifat adalah ilmu, dan semua orang yang
mempunyai ilmu tentang Allah berarti orang yang ‘arif. Dan setiap orang
yang’arif adalah alim. Tetapi dikalangan sufi, ma’rifat adalah sifat dari orang
yang mengenal Allah SWT. melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya dan berlaku
tulus kepada-Nya.[4]
B.
Tingkatan-tingkatan
Ma’rifat
Adapun tingkatan mengenai Ma’rifat dalam Tasawuf, Dzunnun al-Misri
mengklasifikasikannya kedalam tiga tingkatan yaitu : Ma’rifah awam,
Ma’rifat ulama dan Ma’rifah sufi.
1.
Pertama, Ma’rifat orang Awam, yaitu mengetahui Tuhan
dengan perantaraan ucapan Syahadat. Ucapan syahadat dapat juga disebut
Syahadatain (dua kalimat Syahadat), kesaksian atau pengakuan, yang dalam hal
ini adalah :
a)
Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah
kecuali Allah; ini disebut Syahadat tauhid.
b)
Bersaksi bahwa Nabi Mauhammad adalah untusan Allah
kepada sekalian manusia; ini disebut Syahadat Rasul.
Pengucapan
dua kalimat Syahadat ini merupakan syarat utama untuk memasuki agama Islam dan
merupakan kesaksian yang pundamental (mendasar) bagi umat muslim pada
khususnnya, Sebab dengan pengikraran itu, ia telah menyatakan dengan tegas
untuk tidak menyembah apapun kecuali Allah semata. al-Ghazali berpenadapat
Meyakini bahwa “Tiada Tuhan selain Allah” merupakan i’tikad yang harus
ditanamkan dalam jiwa, dan tidak mengikuti ajaran siapapun kecuali yang
datangnya dari Muhammad SAW. Seseorang yang telah mengucapakan dua kalimat
syahadat itu, berarti ia telah melakukan sumpah setia dihadapan Allah, bahwa
hanya Dia sajalah yang disembahnya, dan bahwa Nabi Muhammad sajalah yang
menjadi panutan hidupnya.
2.
Kedua, Ma’rifat Ulama, yaitu mengetahui Tuhan dengan
logika atau akal. Dalam tingkatan kedua ini dapat disebut Ma’rifat para teologi
(mutakalimiin), seperti Mu’tazilah, Asy-Ariyah, Qodariyah, Syi’ah, Khawarij,
Murji’ah. Dimana para teolog tersebut mengenal Tuhan lewat logika atau akal,
baik dalam bidang Islam yang tekstual maupun kontekstual.
3. Ketiga,
Ma’rifat Sufi, yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati sanubari.
C.
Ma’rifatullah
Mengenal Allah SWT. dengan penglihatan
mata hati, tidak dengan penglihatan mata kepala. Allah SWT. telah member fitrah
kepada manusia sejak ia masih dalam kandungan ibuya. Allah telah menuntut
kepada manusia agar mengenal denga fitrah tersebut, karena hanya Allah yang
telah melindungi dan menciptakan diri manusia.
Akan tetapi, kalau tidak mendapat
anugrah dari Allah, niscaya manusia tidak akan mengenal Allah secara hakiki,
meskipun manusia itu telah diberikan oleh Allah berupa fitrah.
Manusia jika telah dibukakan pintu
ma’rifatullah, maka sesungguhnya dengan kema’rifatan itu jangan sampai manusia
menghiraukan amalannya yang sedikit. Sebab Allah SWT. tidak akan membukakan
jalan kema’rifatan baginya kecuali hanya Allah yang menghendaki pengenalan
kepadanya.
Selanjutnya dari literatur yang
diberikan tentang ma’rifat, ma’rifat berarti mengetahui tuhan dari dekat,
sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi
mengatakan sebagaimana berikut :
1.
Kalau mata yang
terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan
ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT.
2.
Ma’rifat adalah cermin,
kalau seorang sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya adalah Allah SWT.
3.
Yang dilihat orang
‘arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah SWT.
4.
Sekiranya ma’rifat
mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak
tahan melihat.
Ada
beberapa tanda-tanda untuk mengenal seorang gnostik. Seorang gnostik selalu
mengharapkan pertolongan dan akrab dengan Allah semata. Dia membuka kelopak
mata dan pintu hatinya untuk Allah semata. Jika beralih mencintai atau
menginginkan sesuatu selain Allah itu adalah penderitaan yang besar baginya.
Orang yang belum mampu meraih ma’rifat sejati tidak akan dapat membedakan
anatar kekasih dan yang lainnya, dan orang yang belum akrab dengan kekasih maka
tidak akan mengetahui siksaan dan pedihnya perpisahan.
D.
Pentingnya
Ma’rifat
Dalam hal ini para Ulama’ sangat
berhati-hati untuk mengajarkan ilmu ma’rifat kepada para peminatnya, karena hal
ini berdasarkan kadar akalnya dan juga harus pada ahlinya. Tentang tafsiran
“ahlinya” inilah yang telah menimbulkan ketatnya penyebaran ilmu tersebut.
Sebab prinsip “ahlinya” ini telah diartikan harus memahami sifat 20 secara
terperinci, melaksanakan dan mempelajari syari’at secara tekun dan mendalam.
Mereka telah menjadi khawatir jika
akhirnya nanti terjadi ketidak perdulian pada syarak kalau saja akan terjadi
sikap batin. Maka tidaklah mengherankan jika dimana-mana banyak ajaran-ajaran
kebatinan yang baru-baru yang secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan,
hanya dikarenakan dilema yang telah timbul dengan upaya mendiskriminasikan
ajaran ma’rifat disalah satu pihak, sedangkan umat telah merasakan kehausan
untuk mencari ajaran kepuasan hati pada pihak lainnya.
Harapan kita adalah, dalam rangka
pembangunan mental spiritual dewasa ini, dimana ilmu ma’rifat telah memberikan
suatu andil yang sangat besar untuk memperkuat semangat perjuangan bangsa, maka
perlu terwujudnya suatu wawasan pengetahuan agama islam yang lebih luas dengan
disertai penelitian-penelitian sejarah.
Sebagai acauan bagi umat, terutama untuk
mereka yang sedang mencari kepuasan batin, maka Syekh Muhammad Amin Al-Kurdhi
telah menganjurkan supaya memperluas dengan sungguh-sungguh suatu ajaran
ma’rifat kepada Allah SWT.[5]
E.
Komentar-Komentar
Tentang Ma’rifat
Terdapat
perbedaan komentar tentang ma’rifat yang benar tentang Allah. Pandangan yang
ada misalnya adalah munculnya oleh golongan Mu’tazilah yang mengatakan ma’rifat
bersifat intelektual dan hanya orang yang berakal yang dapat menemuinya.
Ada
juga yang mengatakan dengan pembuktian istidlal. Disamping itu juga ada yang
mengatakan akal dapat melihat bukti-bukti adalah sarana bukan sebab langsung.
Satu-satunya sebab adalah kehendak dan inayah Allah dan juga ma’rifat
didapatkan melalui inspirasi atau ilham. Disamping hal itu di kalangan sufi
terdapat juga perbedaan pendapat. Sebagian sufi mengatakan bahwa ma’rifat ada
dua macam, yakni ma’rifat kebenaran dan ma’rifat hakikat. Pertama, merupakan
pengetahuan ke-Esa-an Tuhan atau sifat-Nya sedangkan yang ke-2 merupakan
ma’rifat yang tidak dapat dicapai dengan alat apapun. Disebabkan oleh sifat
Tuhan yang tidak dapat ditembus dan
tahqiq ketuhanan-Nya mustahil dipahami.
Sedangkan
menurut Sufi lain, ma’rifat merupakan panggilan hati lewat berbagai tafakur
untuk menghayati ektase-ektase yang ditimbulkan oleh kegiatan dzikir, sesuai
dengan tanda-tanda pengungkapan yang berurutan. Adapun Al-Junaid mengatakan,
beradanya hati diantara pernyataan kebesaran Tuhan yang tidak bias dipahami dn
pernyataan kehebatan-Nya tidak dapat dirasakan.
Al-Bistami
berkomentar bahwa sumber ma’rifat tidak lain adalah Allah sendiri, ma’rifat
merupakan campuran yang paling puncak, dari keseluruhan amalan zuhud yang telah
di jalankannya. Sebagaimana diceritakan oleh beliau, ada empat proses kezuhudan
yang dilakukan. Pertama, zuhud dari dunia dan segala isinya; kedua, zuhud dari
akhirat dan segala yang ada di dalamnya; ketiga, zuhud dari segala hal, kecuali
Allah; keempat, tidak tersisi sedikitpun selain Allah SWT. saat itulah beliau
benar-benar telah mencapi ma’rifat.
BAB
III
PENUTUP
·
Kesimpulan
Ma’rifat merupakan sebuah ilmu untuk mengenal Tuhan,
hal itu dapat dilihat dari beberapa definisi tentang ma’rifat yang telah
diungkapkan para sufi, namun ada perbadaan dalam pemberian makna ma’rifat yaitu
sesuai dengan pengalaman-pengalaman pribadi masing-masing sufi.
Dalam ma’rifat juga ada tingkatan-tingkatan, yang mana
tiap tingkatan tersebut mempunyai tingkatan pemahaman dan pengetahuan yang
berbeda tentang Allah.
Ada beberapa pernyataan tentang hubungan ma’rifat dan mahabbah, ada yang mengatakan bahwa
ma’rifat itu datang sebelum mahabbah dan pendapat lainnya mengatakan bahwa
ma’rifat merupakan buah dari mahabbah.
Namun ada pula yang menyebutkan bahwa sesungguhnya
mahabbah dan ma’rifat adalah sama atau kembar dua yang selalu disebut secara
bersamaan yang merupakan gambaran tentang dekatnya hubungan sufi dengan Tuhan.
Namun ada perbedaan antara keduanya, mahabbah nerupakan hubungan yang erat yang
berupa bentuk cinta, dan ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk
pengetahuan dalam hati sanubari (gnosis).
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Munajjid, Muhammad bin Shalih. 2006. Silsilah Amalan Hati. Bandung : Irsyad
Baitus Salam
Nasution, Harun. 1973. Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Sukandari, Ibnu ‘Athoillah. t.t. Samudra Ma’rifat. Surabaya : Bintang Usaha Jaya
Santoso, Tri Wibowo Budi. t.t. Kunci Rahasia Sufi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Mahmuda, Prof. dr. Syeikh Abdul Halim. At Tasawuf Fi Al-Islam. Bandung : CV
Pustaka Setia
Category: makalah PAI
0 komentar