Recent Posts

ilmu tasawwuf (mahabbah)

Unknown | 12:58:00 | 1 komentar



BAB I
PENDAHULUAN

Wacana mahabbatullah dalam dunia tasawuf dipopularkan oleh seorang wanita suci yang menjadi kekasih Allah (Waliyyullah), Rabiah al-Adawiyyah. Tampilnya Rabiah dalam sejarah tasawuf Islam, memberikan cinta tersendiri dalam menyetarakan gender pada dataran spiritual Islam. Bahkan dengan kemampuannya dalam menempuh perjuangan ‘melawan diri sendiri’ dan seterusnya tenggelam dalam ‘telaga cinta Ilahi’, dinilai oleh kalangan sufi telah melampau seratus derajat orang-orang soleh dari kalangan laki-laki.
Rabiah al-Adawiyyah termasyhur karena pengalaman spiritualnya, yaitu mahabah atau penyerahan diri total kepada Allah SWT. Pengalaman ini diperolehnya bukan melalui guru, melainkan melalui pengalamannya sendiri. Jika sebelumnya Hasan al-Basri, ahli hadis dan fikh, telah merintis kehidupan zuhud berdasarkan rasa takut dan harapan, maka Rabiah melengkapinya dengan cinta kepada Tuhan. Cintanya kepada Allah s.w.t telah memenuhi seluruh jiwa raganya; tidak menyisakan tempat di hatinya untuk mencintai sesuatu selain Allah SWT. Baginya, dorongan mahabah berasal dari dirinya sendiri dan juga karena hak Allah SWT. untuk dipuja dan dicintai. Puncak pertemuan mahabah antara hamba dan cinta kasih Allah SWT.  yang menjadi akhir keinginan Rabiah.
Rabiah yang berparas cantik, memiliki suara merdu, dan pandai menari ini ditugaskan oleh tuannya sebagai penghibur. Setelah belasan tahun menjadi penghibur, suatu hari ketika bernyanyi, Rabiah merasakan kedekatannya dengan Allah SWT.  yang seolah-olah memanggilnya. Sejak itu, ia menolak semua perintah tuannya untuk bernyanyi dan menari sehingga tuannya marah, bahkan menyiksanya. Namun, Rabiah tetap berdoa kepada Allah SWT.  Rabiah pun dijual kepada seorang sufi yang kemudian mengajaknya menikah. Rabiah menolaknya karena kecintaannya yang tinggi pada Allah SWT. Setelah dibebaskan, Rabiah memutuskan untuk hidup menyendiri.
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi Muhammad sendiri sebenarnya pembawa agama Islam diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin).[1] Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.[2]













BAB II
AL-MAHABBAH

A.      Pengertian Al-Mahabbah
Secara etimologi Al-Mahabbah bearasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, atau cinta yang mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Saliba, mengatakan mahabbah adalah lawan dari al-baghd yakni cinta lawan dari benci. Mahabbah juga berarti widad yang diartikan cinta/mencintai atau suka/menyukai. Menurut pendapat lain, berasal dari ash-shafa, artinya jernih, karena orang-orang Arab meneyebut kejernihan warna putih gigi dan kesegarannya dengan sebutan hababul asnaan.
Menurut pendapat lain, al-mahabbah berasal dari al-habbab (buih) yang berada di permukaan air saat hujan deras. Berdasarkan pengertian ini, mahabbah berarti gejolak kalbu saat merindukan perjumpaan dengan sang kekasih.
Sedangkan Al-Mahabbah  dalam terminologi ilmu Tasawwuf adalah Al- Hubb Al-Ilahi (cinta kepada Tuhan). Dalam buku al-ta’rifu li mazhabi ahli al-Tasawwufi, terdapat beberapa pendapat tentang al-mahabbah diantaranya adalah :
Al-Junaidi al-Baghdady menyatakan, cinta adalah cenderung/berpaling hati. Maksudnya hati seseorang tersebut cenderung atau ditujukan kepada Allah dan pada apa saja yang ada di sisi-Nya tanpa dibuat-buat.
Muhammad Ibn Ali Al-Kattany berpendapat, cinta adalah mengutamakan yang dicintai. Menurut Abu ‘Ubaidah al-Nabaji, cinta adalah kelezatan pada makhluk dan menghanyutkan diri pada Khaliq.
Al-Kalabazi mengulas dari ungkapan ini bahwa : orang yang mencintai Allah, ia akan tetap merasakan nikmatnya kehidupan. Sebab semua yang datang dari yang dicintainya terasa indah dan nikmat, sekalipun yang datang itu merupakan sesuatu yang semestinya dibenci/tidak disenangi.
Menurut beberapa pendapat yang lainnya, Mahabbah adalah penyesuaian, keta’atan akan perintah, meninggalkan apa yang dilarang, ridha terhadap apa yang telah ditetapkan. Mahabbah juga diartikan pada mengutamakan apa-apa yang engkau cintai untuk zat yang engkau cintai.
Sementara Rabi’ah sendiri mendefenisikan Mahabba/Hubb adalah : Cinta adalah ungkapan rasa rindu, penuturan dari perasaan. Barangsiapa merasakannya, ia akan mengenal, barangsiapa yang menuturkan ia sendiri tak terditeksi (lenyap), karena telah menyatu dengan yang dicintai.
Sementara pengertian yang diberikan Harun Nasution kepada mahabbah antara lain adalah yang berikut:
1.    Memeluk Kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.
2.    Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.    Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.

B.       Dasar Filosofi Mahabbah
Dalam mengelaborasi dasar-dasar  filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut: 
1.      Cinta Tidak Terjadi Tanpa Proses Pengenalan (Ma’rifat) Dan Pengetahuan (Idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal. Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.[3]
2.      Cinta Terwujud Sesuai Dengan Tingkat Pengenalan Dan Pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut.  
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.  
3.      Manusia Tentu Mencintai Dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
C.      Tingkatan-tingkatan Al-Mahabbah

Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta.
1.    Cinta orang-orang awam. Cinta seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir ) yang terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan menyebutnya.[4]
2.    Cinta orang-orang yang shiddiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini  timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).[5]
3.    Cinta orang-orang arif. Cinta macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an cinta Tuhan tanpa sebab(illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan dan untuk Allah. Sedangkan menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai pengganti sifat-sifatnya.[6]
Faham Mahabbah mempunyai dasar dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah sebagai berikut :
Surat Al-Maidah ayat 54 :

 ... فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ ...

Artinya : Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintaiNya dan yang mencintaiNya.(Al-maidah : 54).

Surat Ali Imran ayat 30 :

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya : Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(Ali Imran : 30).
Sementara tahapan-tahapan Mahabbah kepada Allah SWT. Ada tiga tahap diantaranya adalah :
1.    Takhalli, yaitu menghancurkan sentra-sentra keburukan dalam diri sendiri.
2.    Tahalli, setelah sentra-sentra keburukan lenyap dalam diri, tahapan selanjutnya adalah membangun sentra-sentra kebaikan dalam diri.
3.    Tajalli, yaitu melihat segala sesuatu adalah bayang-bayang sang kekasih (Allah SWT.). Ia menjadi dekat dan dekat sekali. Pada tahap ini, ia akan selalu merasa bersama yang dicintainya (Allah SWT.).

D.      Pentingnya Al- Mahabbah
Al-Mahabbah merupakan perasaan cinta yang hanya timbul bagi makhluk hidup. Tidak ada satupun makhluk hidup di dunia ini yang tidak mempunyai rasa Al-Mahabbah.
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan) dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta merupakan maqam ilahi.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
E.       Macam-macam Mahabah dalam Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an dan Hadits cinta memiliki 8 pengertian berikut ini penjelasannya:
1.    Mahabbah mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu dan membara. Orang yang memiliki cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa berfikir lain.
2.    Mahabbah rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang dicintainya dibanding terhadap diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al arham ,yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari katarahmah). Sejak janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber-silaturrahim, atau silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir batin-dunia akhirat.
3.    Mahabbah mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan. Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda, cenderung mengabaikan kepada yang lama.
4.    Mahabbah syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba) bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
5.    Mahabbah ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran, misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat, membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah. (QS. An Nur : 2).
6.    Mahabbah shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ni ketika mengkisahkan bagaimana Nabi Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya (mohon dimasukkan penjara saja), sebab jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, (QS. Yusuf : 33)
7.     Mahabbah syauq (rindu). Term ini bukan dari al Qur’an tetapi dari hadits yang menafsirkan al Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu berjumpa Allah pasti waktunya akantiba. Kalimat kerinduan ini kemudian diungkapkan dalam doa Ma’tsur dari hadis riwayat Ahmad yang artinya aku mohon dapat merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa dengan Mu. Menurut Ibn al Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin waNuzhat al Musytaqin, Syauq (rindu) adalah pengembaraan hati kepadasang kekasih (safar al qalb ila al mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta.
8.    Mahabbah kulfah. yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, layukallifullah nafsan illa wus`aha (QS. Al-Baqarah :286)



F.       Komentar tentang Al-Mahabbah

Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan social.












BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Mahabbah merupakan suatu rasa yang menjadi tujuan dan mejadi ‘abdi. Mahabbah dimulai dari proses pengenalan (ma’rifat) dan terwujud dari pemupukan dari saling mengetahui. Dari proses itulah terjadi keselarasan yang kemudian menjadi cinta.
Sedangkan cinta menurut para ahli, terdapat banyak pengertian. Karena kita tahu, cinta bukanlah bentuk objektif, akan tetapi bentuk subjektif dari pelakuan cinta sejati adalah cinta kepada Allahh, yang didasari atas ketiadaan pamrih.

B.       Penutup
Demikian makalah ini kami susun, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari masih terdapat berbagai kekurangan di dalamnya, baik dari segi susunan maupun isinya, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari anda sekalian sebagai bahan pertimbangan kami dalam menyusun makalah kami di kemudian hari.








DAFTAR ISI

Al-Munajjid, Muhammad bin Shalih. 2006. Silsilah Amalan Hati. Bandung : Irsyad Baitus Salam
Nasution, Harun. 1973. Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Ridha, Abdurrasyid. 2003. Memasuki Makna Cinta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
http://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/



[1] Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya: 107).
[2] Lihat, penjelasan al-Ghazali tentang hal ini dalam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt), juz IV, hal. 293 dan seterusnya. 

[3] Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha, dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, hal 296-300.
[4] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’, (Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hal 68
[5] Ath-Thusi, al-Luma’, op. cit.,hal 87
[6] Ath-Thusi, al-Luma’, op. cit.,hal 88

Category:

About GalleryBloggerTemplates.com:
GalleryBloggerTemplates.com is Free Blogger Templates Gallery. We provide Blogger templates for free. You can find about tutorials, blogger hacks, SEO optimization, tips and tricks here!

1 comment:

Recent Comments

HAD'S FRIENDS bagi ngilmu lan kaweruh bagi ngilmu lan kaweruh bagi ngilmu lan kaweruh