ilmu tasawwuf (mahabbah)
BAB
I
PENDAHULUAN
Wacana
mahabbatullah dalam dunia tasawuf dipopularkan oleh seorang wanita suci yang
menjadi kekasih Allah (Waliyyullah), Rabiah al-Adawiyyah. Tampilnya Rabiah
dalam sejarah tasawuf Islam, memberikan cinta tersendiri dalam menyetarakan gender
pada dataran spiritual Islam. Bahkan dengan kemampuannya dalam menempuh
perjuangan ‘melawan diri sendiri’ dan seterusnya tenggelam dalam ‘telaga cinta
Ilahi’, dinilai oleh kalangan sufi telah melampau seratus derajat orang-orang
soleh dari kalangan laki-laki.
Rabiah
al-Adawiyyah termasyhur karena pengalaman spiritualnya, yaitu mahabah atau
penyerahan diri total kepada Allah SWT. Pengalaman ini diperolehnya bukan
melalui guru, melainkan melalui pengalamannya sendiri. Jika sebelumnya Hasan
al-Basri, ahli hadis dan fikh, telah merintis kehidupan zuhud berdasarkan rasa
takut dan harapan, maka Rabiah melengkapinya dengan cinta kepada Tuhan.
Cintanya kepada Allah s.w.t telah memenuhi seluruh jiwa raganya; tidak
menyisakan tempat di hatinya untuk mencintai sesuatu selain Allah SWT. Baginya,
dorongan mahabah berasal dari dirinya sendiri dan juga karena hak Allah SWT.
untuk dipuja dan dicintai. Puncak pertemuan mahabah antara hamba dan cinta
kasih Allah SWT. yang menjadi akhir
keinginan Rabiah.
Rabiah
yang berparas cantik, memiliki suara merdu, dan pandai menari ini ditugaskan
oleh tuannya sebagai penghibur. Setelah belasan tahun menjadi penghibur, suatu
hari ketika bernyanyi, Rabiah merasakan kedekatannya dengan Allah SWT. yang seolah-olah memanggilnya. Sejak itu, ia
menolak semua perintah tuannya untuk bernyanyi dan menari sehingga tuannya
marah, bahkan menyiksanya. Namun, Rabiah tetap berdoa kepada Allah SWT. Rabiah pun dijual kepada seorang sufi yang
kemudian mengajaknya menikah. Rabiah menolaknya karena kecintaannya yang tinggi
pada Allah SWT. Setelah dibebaskan, Rabiah memutuskan untuk hidup menyendiri.
Ajaran cinta kasih ternyata tidak hanya milik agama Kristen saja. Nabi
Muhammad sendiri sebenarnya pembawa agama Islam diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam
semesta (rahmah lil ‘alamin).[1]
Lebih jauh lagi, tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam
telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan
yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, seperti
al-Ghazali, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak
yang harus dilalui para sufi.[2]
BAB
II
AL-MAHABBAH
A.
Pengertian
Al-Mahabbah
Secara
etimologi Al-Mahabbah bearasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang
secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan, atau cinta
yang mendalam. Dalam Mu’jam al-Falsafi, Jamil Saliba, mengatakan mahabbah
adalah lawan dari al-baghd yakni cinta lawan dari benci. Mahabbah juga berarti widad yang diartikan
cinta/mencintai atau suka/menyukai. Menurut pendapat lain, berasal dari
ash-shafa, artinya jernih, karena orang-orang Arab meneyebut kejernihan warna
putih gigi dan kesegarannya dengan sebutan hababul asnaan.
Menurut
pendapat lain, al-mahabbah berasal dari al-habbab (buih) yang berada di
permukaan air saat hujan deras. Berdasarkan pengertian ini, mahabbah berarti
gejolak kalbu saat merindukan perjumpaan dengan sang kekasih.
Sedangkan Al-Mahabbah dalam terminologi ilmu Tasawwuf adalah Al-
Hubb Al-Ilahi (cinta kepada Tuhan). Dalam buku al-ta’rifu li mazhabi ahli
al-Tasawwufi, terdapat beberapa pendapat tentang al-mahabbah diantaranya adalah
:
Al-Junaidi al-Baghdady menyatakan, cinta adalah cenderung/berpaling hati.
Maksudnya hati seseorang tersebut cenderung atau ditujukan kepada Allah dan
pada apa saja yang ada di sisi-Nya tanpa dibuat-buat.
Muhammad Ibn Ali Al-Kattany berpendapat, cinta adalah mengutamakan yang dicintai. Menurut
Abu ‘Ubaidah al-Nabaji, cinta adalah
kelezatan pada makhluk dan menghanyutkan diri pada Khaliq.
Al-Kalabazi mengulas dari ungkapan ini bahwa
: orang yang mencintai Allah, ia akan tetap merasakan nikmatnya kehidupan. Sebab
semua yang datang dari yang dicintainya terasa indah dan nikmat, sekalipun yang
datang itu merupakan sesuatu yang semestinya dibenci/tidak disenangi.
Menurut beberapa pendapat yang lainnya,
Mahabbah adalah penyesuaian, keta’atan akan perintah, meninggalkan apa yang
dilarang, ridha terhadap apa yang telah ditetapkan. Mahabbah juga diartikan
pada mengutamakan apa-apa yang engkau cintai untuk zat yang engkau cintai.
Sementara Rabi’ah sendiri mendefenisikan
Mahabba/Hubb adalah : Cinta adalah
ungkapan rasa rindu, penuturan dari perasaan. Barangsiapa merasakannya, ia akan
mengenal, barangsiapa yang menuturkan ia sendiri tak terditeksi (lenyap),
karena telah menyatu dengan yang dicintai.
Sementara
pengertian yang diberikan Harun Nasution kepada mahabbah antara lain adalah
yang berikut:
1. Memeluk Kepatuhan
pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya.
2. Menyerahkan
seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati
dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.
B.
Dasar
Filosofi Mahabbah
Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah)
ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup
bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan
bagaimana kualitasnya, yaitu sebagai berikut:
1.
Cinta Tidak Terjadi Tanpa Proses
Pengenalan (Ma’rifat) Dan Pengetahuan (Idrak)
Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal.
Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta
merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang
telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu
itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan
timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan
kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.[3]
2.
Cinta Terwujud
Sesuai Dengan Tingkat Pengenalan Dan Pengetahuan
Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang
terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai.
Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari
obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai
tersebut.
Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui
pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh
binatang. Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan
melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah
yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh
pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud.
3.
Manusia Tentu
Mencintai Dirinya
Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan
eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa
menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
C.
Tingkatan-tingkatan
Al-Mahabbah
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr
ath-Thusi, cinta kepada Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta.
1.
Cinta orang-orang awam. Cinta
seperti ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka.
Ciri-ciri cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir ) yang
terus-menerus. Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering
mengingat dan menyebutnya.[4]
2.
Cinta orang-orang yang shiddiq
dan mutahaqqiq. Cinta mereka ini timbul
karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan, kebesaran,
pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah “terkoyaknya tabir”
dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain adalah lenyapnya
kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan keinginan duniawi).[5]
3.
Cinta orang-orang arif. Cinta
macam ini timbul dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an
cinta Tuhan tanpa sebab(illat) apapun. Menurut Zunnun al-Mishri, sifat cinta
ini adalah terputusnya cinta dari hati dan tubuh sehingga cinta tidak lagi
bersemayam di dalamnya, namun yang bersemayam hanyalah segala sesuatu dengan
dan untuk Allah. Sedangkan
menurut Abu Ya’qub as-Susi, cirinya alah berpaling dari cinta menuju kepada
Yang Dicintai. Sementara al-Junaid menambahkan bahwa ciri cinta macam ini
adalah meleburnya sifat-sifat Yang Dicintai kepada yang mencintai sebagai
pengganti sifat-sifatnya.[6]
Faham Mahabbah mempunyai dasar dalam Al-Qur’an,
diantaranya adalah sebagai berikut :
Surat Al-Maidah ayat 54 :
... فَسَوْفَ يَأْتِي اللّهُ بِقَوْمٍ
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ ...
Artinya : Allah
akan mendatangkan suatu umat yang dicintaiNya dan yang mencintaiNya.(Al-maidah
: 54).
Surat Ali Imran ayat 30 :
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللّهَ فَاتَّبِعُونِي
يُحْبِبْكُمُ اللّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Artinya : Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.(Ali
Imran : 30).
Sementara tahapan-tahapan Mahabbah kepada Allah
SWT. Ada tiga tahap diantaranya adalah :
1. Takhalli,
yaitu menghancurkan sentra-sentra keburukan dalam diri sendiri.
2. Tahalli,
setelah sentra-sentra keburukan lenyap dalam diri, tahapan selanjutnya adalah
membangun sentra-sentra kebaikan dalam diri.
3.
Tajalli, yaitu melihat
segala sesuatu adalah bayang-bayang sang kekasih (Allah SWT.). Ia menjadi dekat
dan dekat sekali. Pada tahap ini, ia akan selalu merasa bersama yang
dicintainya (Allah SWT.).
D.
Pentingnya Al- Mahabbah
Al-Mahabbah merupakan perasaan cinta yang hanya timbul bagi makhluk
hidup. Tidak ada satupun makhluk hidup di dunia ini yang tidak mempunyai rasa
Al-Mahabbah.
Sebagaimana diketahui, dalam terminologi tasawuf ada istilah maqam (tingkatan)
dan hal (keadaan, kondisi kejiwaan). Menurut as-Sarraj ath-Thusi
dalam kitabnya al-Luma’, maqam merujuk kepada tingkatan seorang
hamba di depan Tuhan pada suatu tingkat yang ia ditempatkan di dalamnya, berupa
ibadah, mujahadah, riyadhah, dan keterputusan (inqitha’) kepada
Allah. Sedangkan hal adalah apa yang terdapat di dalam jiwa atau sesuatu
keadaan yang ditempati oleh hati. Sementara menurut al-Junaid, hal adalah
suatu “tempat” yang berada di dalam jiwa dan tidak statis.
Menurut al-Ghazali, cinta kepada Allah (mahabbah) merupakan
tingkatan (maqam) puncak dari rangkaian tingkatan dalam tasawuf. Tak ada
lagi tingkatan setelah mahabbah selain hanya sekedar efek sampingnya
saja, seperti rindu (syauq), mesra (uns), rela (ridla), dan
sifat-sifat lain yang serupa. Di samping itu, tidak ada satu tingkatan pun
sebelum mahabbah selain hanya sekedar pendahuluan atau pengantar menuju
ke arah mahabbah, seperti taubat, sabar, zuhud, dan lain-lain. Cinta
sebagai maqam ini juga diamini oleh Ibn Arabi. Menurutnya, cinta
merupakan maqam ilahi.
Berbeda dengan al-Ghazali, menurut al-Qusyairi, mahabbah merupakan
termasuk hal. Bagi al-Qusyairi, cinta kepada Tuhan (mahabbah) merupakan
suatu keadaan yang mulia saat Tuhan bersaksi untuk sang hamba atas keadaannya
tersebut. Tuhan memberitahukan tentang cinta-Nya kepada sang hamba. Dengan
demikian, Tuhan disifati sebagai yang mencintai sang hamba. Selanjutnya, sang
hamba pun disifati sebagai yang mencintai Tuhan.
E.
Macam-macam
Mahabah dalam Al-Qur’an
Dalam
Al-Qur’an dan Hadits cinta memiliki 8
pengertian berikut ini penjelasannya:
1. Mahabbah
mawaddah adalah jenis cinta mengebu-gebu dan membara. Orang yang memiliki
cinta jenis mawaddah, maunya selalu berdua, enggan berpisah dan selalu ingin
memuaskan dahaga cintanya. Ia ingin memonopoli cintanya, dan hampir tak bisa
berfikir lain.
2. Mahabbah
rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang, lembut, siap berkorban, dan
siap melindungi. Orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan
orang yang dicintainya dibanding terhadap
diri sendiri. Baginya yang penting adalah kebahagiaan sang kekasih meski untuk itu
ia harus menderita. Ia sangat memaklumi kekurangan kekasihnya dan selalu
memaafkan kesalahan kekasihnya. Termasuk dalam cinta rahmah adalah cinta antar
orang yang bertalian darah, terutama cinta orang tua terhadap anaknya, dan
sebaliknya. Dari itu maka dalam al Qur’an , kerabat disebut al arham, dzawi al
arham ,yakni orang-orang yang memiliki hubungan kasih sayang secara fitri, yang
berasal dari garba kasih sayang ibu, disebut rahim (dari katarahmah). Sejak
janin seorang anak sudah diliputi oleh suasana psikologis kasih sayang dalam
satu ruang yang disebut rahim. Selanjutnya
diantara orang-orang yang memiliki hubungan darah dianjurkan untuk selalu ber-silaturrahim, atau
silaturrahmi artinya menyambung tali kasih sayang. Suami isteri yang diikat
oleh cinta mawaddah dan rahmah sekaligus biasanya saling setia lahir
batin-dunia akhirat.
3. Mahabbah
mail, adalah jenis cinta yang untuk sementara sangat membara, sehingga
menyedot seluruh perhatian hingga hal-hal lain cenderung kurang diperhatikan.
Cinta jenis mail ini dalam al Qur’an disebut dalam konteks orang poligami
dimana ketika sedang jatuh cinta kepada yang muda, cenderung mengabaikan kepada
yang lama.
4. Mahabbah
syaghaf. Adalah cinta yang sangat mendalam, alami, orisinil dan
memabukkan. Orang yang terserang cinta jenis syaghaf (qad syaghafaha hubba)
bisa seperti orang gila, lupa diri dan hampir-hampir tak menyadari apa yang
dilakukan. Al Qur’an menggunakan term syaghaf ketika mengkisahkan bagaimana
cintanya Zulaikha, istri pembesar Mesir kepada bujangnya, Yusuf.
5. Mahabbah
ra’fah, yaitu rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran,
misalnya kasihan kepada anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk salat,
membelanya meskipun salah. Al Qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar
janganlah cinta ra`fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum Allah. (QS. An Nur : 2).
6. Mahabbah
shobwah, yaitu cinta buta, cinta yang mendorong perilaku penyimpang tanpa
sanggup mengelak. Al Qur’an menyebut term ni ketika mengkisahkan bagaimana Nabi
Yusuf berdoa agar dipisahkan dengan Zulaiha yang setiap hari menggodanya
(mohon dimasukkan penjara saja), sebab
jika tidak, lama kelamaan Yusuf tergelincir juga dalam perbuatan bodoh, (QS.
Yusuf : 33)
7.
Mahabbah syauq (rindu). Term ini bukan dari al
Qur’an tetapi dari hadits yang menafsirkan al
Qur’an. Dalam surat al `Ankabut ayat 5 dikatakan bahwa barangsiapa rindu
berjumpa Allah pasti waktunya akantiba. Kalimat kerinduan ini kemudian
diungkapkan dalam doa Ma’tsur dari hadis riwayat
Ahmad yang artinya
“aku mohon dapat
merasakan nikmatnya memandang wajah Mu dan nikmatnya kerinduan untuk berjumpa
dengan Mu”. Menurut Ibn al
Qayyim al Jauzi dalam kitab Raudlat al Muhibbin waNuzhat al Musytaqin, Syauq
(rindu) adalah pengembaraan hati kepadasang kekasih (safar al qalb ila al
mahbub), dan kobaran cinta yang apinya berada di dalam hati sang pecinta.
8. Mahabbah
kulfah. yakni perasaan cinta yang disertai kesadaran mendidik kepada
hal-hal yang positip meski sulit, seperti orang tua yang menyuruh anaknya
menyapu, membersihkan kamar sendiri, meski ada pembantu. Jenis cinta ini
disebut al Qur’an ketika menyatakan bahwa Allah tidak membebani seseorang
kecuali sesuai dengan kemampuannya, layukallifullah nafsan illa wus`aha (QS.
Al-Baqarah :286)
F.
Komentar
tentang Al-Mahabbah
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf
sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan
jiwa yag dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu
dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh
kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi
berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah
di masyarakat.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Alquran sendiri, juga
menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional
dan rasional. Cinta dalam Alquran hampir selalu ditempatkan dalam
konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan social.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mahabbah merupakan suatu rasa yang menjadi tujuan
dan mejadi ‘abdi. Mahabbah dimulai dari proses pengenalan (ma’rifat) dan
terwujud dari pemupukan dari saling mengetahui. Dari proses itulah terjadi
keselarasan yang kemudian menjadi cinta.
Sedangkan cinta menurut para ahli, terdapat banyak
pengertian. Karena kita tahu, cinta bukanlah bentuk objektif, akan tetapi
bentuk subjektif dari pelakuan cinta sejati adalah cinta kepada Allahh, yang
didasari atas ketiadaan pamrih.
B.
Penutup
Demikian
makalah ini kami susun, semoga bisa bermanfaat bagi kita semua. Kami menyadari
masih terdapat berbagai kekurangan di dalamnya, baik dari segi susunan maupun
isinya, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran dari anda sekalian
sebagai bahan pertimbangan kami dalam menyusun makalah kami di kemudian hari.
DAFTAR
ISI
Al-Munajjid, Muhammad bin Shalih. 2006. Silsilah Amalan Hati. Bandung : Irsyad
Baitus Salam
Nasution, Harun. 1973. Falsafah dan Mistisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang
Ridha, Abdurrasyid. 2003. Memasuki Makna Cinta. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
http://racheedus.wordpress.com/makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/
[1] Dan
tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam. (QS.
Al-Anbiya: 107).
[2] Lihat, penjelasan al-Ghazali tentang hal ini
dalam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut,
Dar al-Ma’rifah, tt), juz IV, hal. 293 dan seterusnya.
[3] Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa
ar-Ridha, dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin,
hal 296-300.
[4] Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi, al-Luma’,
(Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1960), hal 68
[5] Ath-Thusi, al-Luma’, op. cit.,hal 87
[6] Ath-Thusi, al-Luma’, op. cit.,hal 88
Category: makalah PAI
Belajar Ilmu mahabbah nabi yusuf bersama Mbak Hidayah ( ustadzah Hidayah ) ==> silahkan Klik Disini <==
ReplyDelete